Jumat, 12 Juni 2020

Biografi Abu Muhammad Daud Teupin Gajah

ABU MUHAMMAD DAUD AL YUSUFI;
Ulama Kharismatik dan Pimpinan Dayah Madinatuddiniyah Babussa'adah.


Beliau adalah ulama kharismatik Aceh Selatan yang lahir di Kruengkalee Pasie Raja, dan berkiprah secara luas di Teupin Gajah Aceh Selatan, sehingga masyarakat menyebut beliau dengan sebutan Abu Daud Teupin Gajah. Dalam diri Abu Daud Teupin Gajah mengalir darah pejuang, karena kakeknya Ismail bin Haji Yusuf syahid dalam perang Aceh. Semenjak kecil Abu Daud Teupin Gajah telah nampak bakat menjadi seorang ulama berpengaruh, ditandai dengan semangat dan kesungguhan beliau dalam menuntut ilmu pengetahuan, terutama ilmu agama.

Setelah menjadi seorang alim, Abu Daud Teupin Gajah membangun lembaga pendidikan yang dinamakan dengan Dayah Madinatuddiniyah Babussa'adah pada tahun 1984, yang cikal bakalnya dimulai dengan pembangunan TPA di tahun 1972, sepulangnya beliau dari pengembaraan ilmunya di Dayah Blang Bladeh Bireuen. Mengawali pendidikannya, Abu Daud Teupin Gajah yang lahir pada tahun 1936 belajar di SR atau Sekolah Rakyat yang beliau selesaikan pada tahun 1951. Walaupun sekolah SR tersebut jauh dari kampungnya, namun Abu Daud Teupin Gajah bersungguh-sungguh-sungguh untuk hadir ke sekolah, meskipun hujan, becek dan jarak yang jauh. Melihat kepada semangat beliau inilah yang kelak mengantarkan Abu Daud Teupin Gajah menjadi seorang ulama yang memiliki tekad baja dan pantang menyerah.

Abu Daud Teupin Gajah merupakan salah satu murid dari Ulama besar Aceh yaitu Abuya Syech Jailani Musa Kota Fajar. Beliau dan Abu Muhammad Yunus Thaiby dan beberapa ulama lainnya adalah murid generasi pertama dari Abuya Jailani Kota Fajar. Abuya Jailani ialah ulama lulusan Dayah Bustanul Huda Abu Syech Mud Blangpidie dan termasuk murid generasi awal dari didikan Syekh Muda Waly, satu Angkatan dengan Abu Adnan Bakongan, Abu Qamaruddin Teunom dan para ulama lainnya. Disebut pula bahwa Abuya Jailani Kota Fajar sempat belajar kepada ulama yang berasal dari Siem Aceh Besar Abu Muhammad Ali Lampisang, pendiri Madrasah Khairiyah di Labuhan Haji kurun 1921 sampai 1930.

Abu Daud Teupin Gajah mulai belajar kepada Abuya Haji Jailani Kota Fajar pada tahun 1954 di Dayah Bustanuddin Kuala Ba'u Aceh Selatan. Namun ketika Abuya Jailani pulang ke kampungnya Kota Fajar dan mendirikan Dayahnya Darussa'adah pada tahun 1957, Abu Teupin Gajah pun ikut untuk terus belajar dari sang ulama itu. Sekitar lebih kurang sepuluh tahun kebersamaan antara guru dan murid yang disayangi, pada tahun 1964 Abuya Jailani Kota mendapat undangan khusus untuk menghadiri acara di Dayah ulama kharismatik Aceh Abu Tu Muhammad Amin Mahmud atau yang dikenal dengan Abu Tu Min, juga salah satu murid Abuya Syekh Muda Waly yang selesai belajar di Darussalam Labuhan Haji sekitar tahun 1959, dimana tahun 1958 kakak kelasnya satu tingkat Abu Abdul Aziz Shaleh atau Abon Samalanga pulang, dan satu tahun sebelumnya telah pulang kampung ke Tanoh Mirah Abu Abdullah Hanafi Tanoh Mirah, yang ketiga-tiganya telah mengikat komitmen untuk mengabdikan ilmunya kepada umat Islam khususnya Aceh.

Abu Tu Min juga merupakan generasi ketiga yang memimpin Dayah Madinatuddiniyah Babussalam Blang Bladeh. Sebelumnya dayah tersebut dibangun oleh kakeknya Teungku Tu Hanafiyah, yang kemudian dilanjutkan oleh ayah Abu Tu Min Teungku Tu Mahmud Syah, dan dayah ini maju dan berkembang secara pesat semenjak Abu Tu Min pulang dari Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan pada tahun 1959. Kepada Abu Tu Min, Abu Daud Teupin Gajah memperdalam kajian keilmuannya yang telah beliau perolehan sebelumnya dari guru besar Abuya Syech Jailani Kota Fajar.

Abu Daud Teupin Gajah dapat digolongkan sebagai ulama yang merupakan lulusan pertama dari dua orang ulama kharismatik Aceh tersebut. Setelah menjadi seorang yang alim dan rasikh ilmunya, Abu Daud kemudian mulai merintis lembaga pendidikan agama yang kemudian di kenal oleh masyarakat Aceh Selatan dengan Dayah Madinatuddiniyah Babussa'adah. Melihat dari sisi penamaan dayah, nama Madinatuddiniyah bertafaul kepada Madinatuddiniyah Blang Bladeh, sedangkan Babussa'adah mengambil berkat kepada nama Darussa'adah Kota Fajar.


Selain mencintai dan menghormati gurunya, Abu Daud Teupin Gajah juga dikenal sebagai ulama yang murah senyum dan mudah akrab dengan siapapun. Sehingga karena pembawaannya yang menyenangkan dan Luwes tersebut, maka dakwah beliau dimana-mana, disebutkan hampir dua puluh empat majelis taklim yang beliau ajarkan ilmu yang tersambung kepada guru-gurunya. Selain sebagai ulama dan guru bagi masyarakat Pasie Raja, para ulama di Aceh Selatan sangat menghormati Abu Daud Teupin Gajah, sehingga beliau pernah memimpin Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Selatan selama dua periode, mengawal pemahaman keagamaan secara amanah dan bertanggung jawab.

Abu Daud Teupin Gajah telah berkiprah secara luas untuk masyarakatnya. Bahkan disebutkan bahwa selain masyarakat, anak-anak beliau juga umumnya pendiri dan pimpinan dayah lainnya. Beliau juga seorang murabbi masyarakatnya dengan kajian tasauf dan suluk yang beliau buka di Bulan Ramadhan. Abu Daud Teupin Gajah memaknai hidupnya untuk terus mengajarkan masyarakatnya ke jalan keselamatan. Sehingga di hari wafatnya beliau, dalam usia 82, tepatnya dua tahun yang lalu merupakan kehilangan yang besar bagi masyarakatnya secara khusus dan bagi Aceh secara umum. Karena kehilangan seorang yang alim adalah satu kekurangan yang tidak mampu ditutupi hingga hari kiamat. Rahimahullah Rahmatan Wasi'atan. Alfaatihah.

Penulis : Dr Ustadz Nurkhalis Mukhtar El_sakandary Lc, MA,

Kamis, 11 Juni 2020

Biografi Syekh Jamil Jaho

SYEKH MUHAMMAD JAMIL JAHO
Ulama, Tokoh PERTI dan Guru Syekh Muda Waly Al-Khalidy.

Syekh Muhammad Jamil Jaho adalah salah satu ulama besar Padang yang memiliki arti yang signifikan dalam jalur keilmuan ulama Aceh terutama melalui jalur Syekh Muda Waly al-Khalidy. Karena beliau selain guru, juga mertua Abuya Syekh Muda Waly yang menikah dengan anaknya Hajjah Rabi'ah Jamil Jaho. Syekh Muhammad Jamil Jaho sering disebut dengan 'Inyak Jaho' atau Angku Jaho. Beliau lahir pada tahun 1875 di Jaho, Nagari Tambangan Padang Panjang. Melalui jalur ayahnya, Syekh Muhammad Jamil Jaho memiliki darah ulama, karena ayahnya Datuk Garang merupakan ulama dan qadhi wilayah Tambangan.

Semenjak kecil Syekh Jamil Jaho telah dibekali dengan dasar-dasar keilmuan, bahkan dalam usia 13 tahun beliau telah mampu menghafal Al Qur'an dan memahami kitab-kitab melayu dengan baik. Melihat talenta yang ada pada diri Syekh Jamil Jaho, ayahnya Datuk Garang mulai mengajarkan kitab kuning kepada beliau. Setelah memiliki perbekalan yang memadai dalam ilmu nahwu sharaf, Syekh Muhammad Jamil Jaho kemudian diantarkan oleh ayahnya untuk belajar kepada salah seorang ulama yang berada dalam kawasan Padang Panjang yaitu Syekh Al Jufri. Kepada Syekh Al Jufri, Syekh Jamil Jaho bertekun belajar selama beberapa tahun, sehingga mengantarkan beliau menjadi seorang 'alim kecik' artinya anak kecil yang alim. Lebih kurang lima tahun beliau belajar kepada Syekh Al Jufri. Walaupun telah memahami kitab-kitab Arab dengan baik, Syekh Muhammad Jamil Jaho kemudian melanjutkan pengajiannya kepada ulama di Padang Ganting yaitu kepada Syekh Al Ayyubi.

Dengan segenap kesungguhan Syekh Jamil Jaho belajar kepada Syekh al Ayyubi, dimana beliau dengan sahabatnya seperguruan Syekh Sulaiman al-Rusuli menjadi murid yang disayangi oleh gurunya. Beliau dan Syekh Sulaiman kelak menjadi ulama besar Minang dan pendiri organisasi PERTI. Sekitar enam tahun beliau belajar kepada Syekh Al Ayyubi tentunya telah mengantarkan Syekh Jamil Jaho menjadi seorang alim yang mendalam ilmunya. Namun dahaga keilmuan Syekh Jamil Jaho akhirnya mengantarkan beliau untuk belajar kepada seorang ulama besar lainnya yang dikenal ahli dalam Fiqih dan Ushul Fiqih teman seperguruan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syekh Muhammad Sa'ad Mungka al Khalidy yaitu Syekh Abdullah Halaban. Kepada Syekh Abdullah Halaban beliau belajar dari tahun 1899 sampai berangkat ke Mekkah tahun 1908, lebih kurang sembilan tahun beliau belajar dan mengajar kepada Syekh Abdullah Halaban yang dikenal 'allamah, telah mengantarkan Syekh Muhammad Jamil Jaho muda menjadi seorang faqih dan alim yang rasikh ilmunya.

Syekh Abdullah Halaban telah pun mengangkat Syekh Muhammad Jamil Jaho menjadi Asisten Syekh yang dianggap telah mampu berdiri sendiri dan boleh membuka surau/dayah. Namun demikian, pada tahun 1908 Syekh Muhammad Jamil Jaho melanjutkan kajian keilmuannya tingkat tinggi di Kota Suci Mekkah. Beliau dan Syekh Abdul Karim Amrullah disebut-sebut sebagai murid senior dan mendapatkan kepercayaan dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabau untuk mengajarkan para pelajar yang baru sampai di Mekkah. Syekh Ahmad Khatib Minangkabau sendiri adalah ulama yang pernah menjadi Mufti, khatib dan Imam di Mesjidil, diambil menantu oleh Syekh Saleh Kurdi, seorang hartawan dermawan yang memiliki akses ke penguasa Kota Mekkah. Sebelum Syekh Ahmad Khatib, ulama nusantara yang pernah menjadi pengajar dan Imam di Mesjidil Haram adalah Syekh Ahmad Khatib Sambasi yang merupakan Mursyid Kamil Mukammil untuk tarekat Qadiriah Naqsyabandiyah. Adapun Syekh Nawawi al Bantani juga pada posisi yang sama, namun beliau lebih memilih menjadi pengajar biasa.

Sekitar sepuluh tahun Syekh Muhammad Jamil Jaho belajar dan mengajar di Mesjidil Haram, dan beliau telah menjadi alim besar yang diperhitungkan. Sehingga ketika pulang ke Padang, beliau menginisiasi banyak hal untuk masyarakat. Selain membuka pesantren di Jaho yang disebut dengan Surau Jaho, beliau juga menggagas berdirinya Persatuan Ulama Minangkabau dan pendirian lembaga pendidikan Thawalib bersama sahabatnya Syekh Sulaiman al-Rusuli dan Syekh Abdul Karim Amrullah teman ketika sama-sama belajar kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Dimana dari Surau Jaho Syekh Muda Jamil Jaho telah mengkader ratusan para angku-angku dan puluhan ulama terbilang. Di antara muridnya yang juga menjadi ulama besar adalah Syekh Zakaria Labaisati Malalo yang pernah sekitar delapan tahun belajar pada lembaga pendidikan yang beliau pimpin.

Bahkan salah seorang ulama besar Aceh yang tiba di Padang sekitar tahun 1933 yaitu Syekh Muda Waly al-Khalidy yang menjadi tokoh sentral jaringan ulama dayah Aceh juga pernah belajar dan mengikuti pengajian dari beliau di Surau Jaho. Karena sebelum ke Padang Syekh Muda Waly telah alim, berguru kepada beberapa tokoh ulama Aceh seperti Abu Lampisang, Abu Syech Mud Blangpidie, Abu Kruengkalee, Abu Indrapuri, dan para ulama lainnya. Karena kealiman, akhlak yang mulia, dan terang hatinya, akhirnya Syekh Muda Waly diambil menantu oleh Syekh Jamil Jaho yang dinikahkan dengan puterinya yang juga alim Hajjah Rabi'ah M. Jamil Jaho, yang merupakan ibu dari Abuya Haji Mawadi Waly pimpinan Dayah Darussalam Labuhan Haji.
Selain sebagai ulama besar, Syekh Jamil Jaho bersama sahabatnya Syekh Sulaiman al-Rusuli kemudian membangun sebuah organisasi keislaman yang berhaluan Ahlussunnah Waljama’ah yang disebut dengan PERTI pada tahun 1930. Sehingga seluruh Madrasah yang bercorak pesantren, berafiliasi dengan Organisasi PERTI dan umumnya pesantren perti di Minang disebut dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Perkembangan PERTI di Aceh awalnya juga tidak terlepas dari peran Syekh Muda Waly yang disambut pula oleh Syekh Hasan Kruengkalee yang juga ulama kharismatik Aceh.

Selain sebagai tokoh yang menginisiasi berdirinya PERTI, Syekh Muhammad Jamil Jaho juga termasuk pembaharu pendidikan di Padang, walaupun dalam masalah fikih beliau tetap bertaqlid kepada pengarang-pengarang Kitab pada masa yang lalu. Beliau menolak Ijtihad secara bebas, dan menyeru untuk kembali ke Turats/kitab-kitab kuning melalui jalur Surau dan pesantren. Setelah kontribusi yang besar, pada tahun 1945 dalam usia 70 tahun wafatlah ulama kharismatik tersebut. Rahimahullah Rahmatan Wasi'atan.

Ditulis oleh. Dr. Ustadz Nurkhalis Mukhtar El_Sakandary

Jumat, 09 Mei 2014

kisah imam bukhari

Sejarah Singkat Imam Bukhari


Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari
Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya “Islam in the Sivyet Union” (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.
Keluarga dan Guru Imam Bukhari
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’ dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti “al-Mubarak” dan “al-Waki”. Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
Kejeniusan Imam Bukhari
Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja “diputar-balikkan” untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.
Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.
Karya-karya Imam Bukhari
Karyanya yang pertama berjudul “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata, “Saya menulis buku “At-Tarikh” di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama”.
Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du’afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami’ as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami’ As-Sahih.”
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: “Aku susun kitab Al Jami’ ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.”
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan : “Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : “Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya.”
Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”
Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.
Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits
Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami’ as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab “Al-Jami ‘as-Shahih”.
Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. “Saya susun kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih”. Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.
Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.
Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. “Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih”, katanya suatu saat.
Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami’ as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.
Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Terjadinya Fitnah
Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: “Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya.” Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”.
Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : “Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia.” Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur’an, makhluk ataukah bukan?” Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.
Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah.” Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah.” Di lain kesempatan, ia berkata: “Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah pendusta.”
Wafatnya Imam Bukhari
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.
diambil dari :

Rabu, 15 Januari 2014

WASIAT ENDATU BANGSA ACEH.

WASIAT ENDATU BANGSA ACEH. Nabi Khiddir As, Pada Syèch Abdul Rauf Syiah Kuala Dan Sulthan Iskandar Muda di Istana Kutaraja, Tersurat dalam Naqal Syèc
 1. Bahwa lebih kurang dalam tahun 1260 H. Negeri Acheh akan ditimpa bala bencana.
 2. Bahwa dalam tahun 1320 H. Negeri Acheh dikalahkan oleh Kerajaan "Ba" (Belanda), yang datang dari pihak barat.
 3. Bahwa beberapa lama kemudian lebih kurang 40 musem. Kerajaan "Ba" (Belanda), dikalahkan oleh Kerajaan "Jim" (Jepang), yang datang dari pihak matahari terbit.
 4. Bahwa lebih kurang empat musem Kerajaan "Jim" (Jepang), menguasai Negeri Acheh, tiba-tiba ia keluar dalam sekejab mata, karena dikalahkan oleh praja (syimbol) Ajam, praja gajah, praja beruang, praja singa ( Sekutu ) dan barang sebagainya .
 5. Setelah Kerajaan "Jim"( Jepang) keluar, maka negeri Acheh dan negeri dibawah angin lainnya, atas usaha isi negeri itu, akan berdiri satu Kerajaan yang menaklukkan negeri Acheh dan negeri dibawah angin lainnya ( negeri kosong pemimpin ). Kerajaan itu bernama ber-awalan huruf, "Alif" (Indonesia) dan ber-akhiran dengan huruf "Jim"(Jawa).
 6. Kerajaan itu akan berdiri sampai kuat, akan tetapi negeri haru-hara, banyak pertumpahan darah, rakyat banyak mudharat, kehidupan susah, perdagangan mahal, pakaian dan makanan mahal. Yang pandai tutup mulut, orang-orang besar banyak yang dusta. Semua rakyat berpaling muka pada pembesar itu. Perampasan terjadi di ditiap-tiap simpang, dengan tidak bersenjata dan banyak orang pada masa itu sangat suka pada kuning dan merah dengan menanti yang tidak mengaku "Allah" dan bermusuhan dengan agama yang ada diatas bumi ini
. 7. Bahwa pada waktu itu ummat Islam banyak tersesat, karena kurang ilmu, kurang amal, lemah iman, banyak dosa, ketika itu banyak ummat Islam meninggalkan "Mazhab" yang empat dan membuat "Mazhab" kelima dan itulah tanda huru-hara, kutok dan bala.
 8. Manusia pada waktu itu banyak membuang adat istiadat sendiri dan mengambil adat istiadat orang lain. Pada masa itulah manusia telah banyak meninggalkan Syariat Nabi Muhammad SAW dan mengkafirkan i'tikad Ahlussunnah Waljama-ah dan pada waktu itulah orang negeri banyak meungikut huruf "enam" dan ada juga yang suka pada huruf Fa (Fasek) - Qaf (Qufur) - Jim ( Jahil) atau Qaf ( Qufur ) - Mim ( Murtad ) - Jim (Jahil) - Nun (Nakal) dan Sin (sesat). Mereka tidak mengaku adanya Tuhan Rabbul A'lamin.
 9. Bahwa nanti akan datang pada satu masa rakyat bangkit dengan amarahnya seperti api ¬yang menyala-nyala. Bermaksud membela negeri dan hendak melepaskan diri dari kuning dan merah dan barang sekaliannya. Akan tetapi kelakuannya bermacam-¬macam ragam dan pada akhirnya, yang memindahkan kuning dan merah itulah yang menang. Nyakni golongan yang tidak suka pada pekerjaan atau perbuatan yang salah. Serta berdiri agama meunurut Ahlussunnah Walajama-ah, yang bermazhab dengan mazhab "empat" . Negeri aman, damai, adil dan makmur seperti dahulu kala, nyakni akan menang orang ber-iman. 10. Pada tahun 1440 H. Negeri Acheh Akan dikuasai oleh Kerajaan Ajam (Rakyat) yang dipimpin oleh pemimpin yang timbul dari rakyat yang berdarah pemimpin ade. Manusia pada waktu itu kuat agamanya, kuat imannya. Bidang ibadah dan pengajian di Dayah-dayah sangat ramai dari orang menuntut ilmu, tapi manusia pada waktu itu banyak yang takut, baik orang biasa, tgk-tgk, tgk-tgk dayah, orang mengaji dan tgk-tgk di kampung-kampung sangat takut kepada penyakit yang tidak dapat dikesan, diperiksa dengan alat medis. Penyakit itu dianya, tenun atau sihir, karena banyak manusia kala itu juga menuntut dan mengamalkan ilmu-ilmu sihir atau ilmu hitam.Kala itu, masa datangnya pemimpin ade yang menjalankan adat dan hukom. sampai negeri aman, damai, adil dan makmur, sejahtera seperti dahulu kala. (akan berdiri kembali Kesulthanan Acheh Serambi Makkah Wal aman). Wassallam. Wahusnul Khatimah Ala Mantabial Huda. Wallahu Aklam Bissawab. Kitab Mandiyatul Badiah. Syech Abdul Raul Syiah Kuala.
 *Geupeutubiet/Geusu-son le Tgk. Syamsuddin Yahya (Lhoknga Bireun).

Kamis, 21 November 2013

kisah perempuan sufi pertama di dunia

PENGANTAR
Sufi adalah istilah untuk mereka yang mendalami ilmu tasawwuf, sejenis aliran mistik dalam agama Islam. Sudah menjadi hal yang umum sejak zaman dulu bahwa yang menjadi tokoh sufi adalah berasal dari kalangan kaum laki-laki seperti Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba’alawi Al-Husaini, Syekh Abdul Qadir Jaelani, Abu Nawas, Syekh Abul Hasan Asy Syadzili. Laki-laki memang sudah sepantasnya menjadi pemimpin dan tokoh utama dalam setiap bidang. Namun teori itu tak berlaku lagi ketika muncul   seorang tokoh sufi yang berasal dari kaum wanita  yang bernama Siti Rabiatul Adawiyah.
Rabiah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.
BIOGRAFI RABIAH ADAWIYAH DARI BERBAGAI SUDUT PANDANG
Siti Rabiah Adawiyah lahir di Basra pada tahun 105 H dan meninggal pada tahun 185 H. Siti Rabiah Al Adawiyah adalah salah seorang  perempuan Sufi yang  mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Soerang wanita yang alur kehidupannya tidak seperti wanita pada umumnya, ia terisolasi dalam dunia mistisme jauh dari hal-hal duniawi. Tidak ada sesuatu  yang lebih dicintainya di dunia yang melebihi cintanya kepada Allah. Kehidupannya seolah hanya untuk mendapatkan ridho Allah, tidak ada suatu tujuan apapun selain itu. Rabiah pernahmengeungkapkan bentuk penyerahan dirinya kepada Allah, ketulusan ibadahnya kepada Allah dalam syair berikut ini :
“Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka-Mu maka bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu maka haramkanlah aku daripadanya. Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”
الحب الذي لا تقيده رغبة سوى حب الله وحده
‘Cinta yang murni yang bukan hanya terbatas oleh keinginan adalah cinta kepada Allah semata’
Siti Rabiah Al-adawiyah dilahirkan ditengah keluarga miskin. Seisi rumahnya hanya  dapat ditemukan barang yang memang benar-benar diperlukan saja bahkan konon mereka tidak memiliki setetes minyak (sejenis minyak telon) saja untuk menghangatkan perut anaknya, mereka tidak memiliki lampu untuk menerangi rumahnya. Ayahnya  hanya bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan. Ayah Rabiah Adawiyah pantang untuk meminta-minta kepada orang lain walaupun kondisi ekonominya ditengah kehancuran dan mendekati kesengsaraan. Ayah Rabiah bernama Ismail, nama yang tidak begitu dikenal di wilayahnya, jauh dari keheidupan gemerlap kota Basra yang saat itu merupakan kota besar. Lebih baik mati daripada hidup meminta-minta kepada orang lain bagi Ayah Rabiah Adawiyah. Prinsip yang melekat dalam diri Ayah Rabiah selaku suami dari istri yang memiliki empat anak ini begitu kuat.  Sang suami selalu yakin bahwa pertolongan Allah akan segera datang,  Allah tidak pernah tertidur, Allah selalu akan menjaga dan melindungi istri dan anak-anaknya. Hingga suatu ketika  Isterinya yang malang menangis sedih atas keadaan keluarganya  yang serba memprihatinkan itu. Dalam keadaan yang demikian itu sang istri mengeluh kepada sang suami. Sang suami hanya dapat menekurkan kepala ke atas lutut  hingga akhirnya ia terlena dalam tidurnya. Di dalam tidurnya ia bermimpi melihat Nabi. Nabi membujuknya: “Janganlah engkau bersedih, karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang di antara kaumku”.  Kemudian Nabi meneruskan; “Besok, pergilah engkau menghadap ‘ Gubernur Bashrah, Isa az-Zadan dan  tuliskan kata-kata berikut ini diatas sehelai kertas putih : ‘Setiap malam engkau mengirimkan shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam Jum’at empat ratus kali. Kemarin adalah malam Jum’at tetapi engkau lupa melakukannya. Sebagai penebus kelalaianmu itu berikanlah kepada orang ini empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal’”. Ketika terjaga dari tidurnya, ayah Rabiah mengucurkan air mata seraya bersyukur kepada Allah karena ia yakin bahwa mimpinya adalah benar dan merupakan petunjuk dari Allah bagi hambanya yang beriman. la pun segera menjalankan petunjuk sebagaimana yang diperintahkan Nabi dalam mimpinya, iamenulis  dan mengirimkannya  tulisannya kepada gubernur melalui pengurus rumah tangga istana. Tidak lama setelah sang Gubernur mambaca surat tersebut, sang gubernur langsung mengirim utusannya untuk membagikan uang  masing-masing dua ribu dinar kepada orang-orang miskin.
Seolah terhanyut dalam kebahagian dan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur karena sang gubernur merasa bahwa dia adalah orang yang istimewa di mata nabi maka ia memberikan hadiah uang empat ribu dinar kepada ayah Rabiah Adawiyah pada awalnya. Namun, setelah beberapa saat  sang gubernur  merasa tidak pantas hanya menghadiahkan uang dalam jumlah tersebut kepada kekasih Allah. Sang gubernur pun berjanji akan memberikan apapun yang  dibutuhkan ayah Rabiah Adawiyah. Kemudian sang gubernur pergi menemui Ayah dirumahnya dan membicarakan semua yang telah ia janjikan bagi ayah Rabiah Adawiyah. Sebagaimana yang penulis baca dan  kutip darihttp://cerekaduniaakhirat.blogspot.com yang menceritakan  “Amir itu meminta supaya bapa Rabi’atul-adawiyyah selalu mengunjungi beliau apabila hendakkan sesuatu karena beliau sungguh berasa bertuah dengan kedatangan orang yang hampir dengan Allah. Selepas bapanya meninggal dunia, Basrah dilanda oleh kebuluran. Rabi’atul-adawiyyah berpisah dari adik-beradiknya. Suatu ketika kafilah yang beliau tumpangi itu telah diserang oleh penyamun. Ketua penyamun itu menangkap Rabi’atul-adawiyyah untuk dijadikan barang rampasan untuk dijual ke pasar sebagai abdi. Maka lepaslah ia ke tangan tuan yang baru.
Suatu hari, tatkala beliau pergi ke satu tempat atas suruhan tuannya, beliau telah dikejar oleh orang jahat. beliau lari. Tetapi malang, kakinya tergelincir dan jatuh. Tangannya patah. Beliau berdoa kepada Allah, “Ya Allah! Aku ini orang yatim dan abdi. Sekarang tanganku pula patah. tetapi aku tidak peduli segala itu asalkan Kau rida denganku. tetapi nyatakanlah keridaanMu itu padaku.” Tatkala itu terdengarlah suatu suara malaikat, “Tak mengapa semua penderitaanmu itu. Di hari akhirat kelak kamu akan ditempatkan di peringkat yang tinggi hinggakan Malaikat pun kehairanan melihatmu.” Kemudian pergilah ia semula kepada tuannya. Selepas peristiwa itu, tiap-tiap malam ia menghabiskan masa dengan beribadat kepada Allah, selepas melakukan kerja-kerjanya. Beliau berpuasa berhari-hari. Suatu hari, tuannya terdengar suara rayuan Rabi’atul-adawiyyah di tengah malam yang berdoa kepada Allah : “Tuhanku! Engkau lebih tahu bagaimana aku cenderung benar hendak melakukan perintah-perintahMu dan menghambakan diriku dengan sepenuh jiwa, wahai cahaya mataku. Jikalau aku bebas, aku habiskan seluruh masa malam dan siang dengan melakukan ibadat kepadaMu. Tetapi apa yang boleh aku buat kerana Kau jadikan aku hamba kepada manusia.”
Dilihat oleh tuannya itu suatu pelita yang bercahaya terang tergantung di awang-awangan, dalam bilik Rabi’atul-adawiyyah itu, dan cahaya itu meliputi seluruh biliknya. Sebentar itu juga tuannya berasa adalah berdosa jika tidak membebaskan orang yang begitu hampir dengan Tuhannya. sebaliknya tuan itu pula ingin menjadi khadam kepada Rabi’atul-adawiyyah. Esoknya, Rabi’atul-adawiyyah pun dipanggil oleh tuannya dan diberitahunya tentang keputusannya hendak menjadi khadam itu dan Rabi’atul-adawiyyah bolehlah menjadi tuan rumah atau pun jika ia tidak sudi bolehlah ia meninggalkan rumah itu. Rabi’atul-adawiyyah berkata bahawa ia ingin mengasingkan dirinya dan meninggalkan rumah itu. Tuannya bersetuju. Rabi’atul-adawiyyah pun pergi. Suatu masa Rabi’atul-adawiyyah pergi naik haji ke Mekkah. Dibawanya barang-barangnya atas seekor keldai yang telah tua. Keldai itu mati di tengah jalan. Rakan-rakannya bersetuju hendak membawa barang -barangnya itu tetapi beliau enggan kerana katanya dia naik haji bukan di bawah perlindungan sesiapa. Hanya perlindungan Allah S.W.T. Beliau pun tinggal seorang diri di situ. Rabi’atul-adawiyyah terus berdoa, “Oh Tuhan sekalian alam, aku ini keseorangan, lemah dan tidak berdaya. Engkau juga yang menyuruhku pergi mengunjungi Ka’abah dan sekarang Engkau matikan keldaikudan membiarkan aku keseorangan di tengah jalan.” Serta-merta dengan tidak disangka-sangka keldai itu pun hidup semula. Diletaknya barang-barangnya di atas keldai itu dan terus menuju Mekkah. Apabila hampir ke Ka’abah, beliau pun duduk dan berdoa, “Aku ini hanya sekepal tanah dan Ka’abah itu rumah yang kuat. Maksudku ialah Engkau temui aku sebarang perantaraan.” Terdengar suara berkata, “Rabi’atul-adawiyyah, patutkah Aku tunggangbalikkan dunia ini kerana mu agar darah semua makhluk ini direkodkan dalam namamu dalam suratan takdir? Tidakkah kamu tahu Nabi Musa pun ada hendak melihatKu? Aku sinarkan cahayaKu sedikit sahaja dan dia jatuh pengsan dan Gunung Sinai runtuh menjadi tanah hitam.” Suatu ketika yang lain, semasa Rabi’atul-adawiyyah menuju Ka’abah dan sedang melalui hutan, dilihatnya Ka’abah datang mempelawanya. Melihatkan itu, beliau berkata, “Apa hendakku buat dengan Ka’abah ini; aku hendak bertemu dengan tuan Ka’abah (Allah) itu sendiri. Bukankah Allah juga berfirman iaitu orang yang selangkah menuju Dia, maka Dia akan menuju orang itu dengan tujuh langkah? Aku tidak mahu hanya melihat Ka’abah, aku mahu Allah.” Pada masa itu juga, Ibrahim Adham sedang dalam perjalanan ke Ka’abah. Sudah menjadi amalan beliau mengerjakan sembahyang pada setiap langkah dalam perjalanan itu. Maka oleh itu, beliau mengambil masa empat belas tahun baru sampai ke Ka’bah. Apabila sampai didapatinya Ka’abah tidak ada. Beliau sangat merasa hampa. Terdengar olehnya satu suara yang berkata, “Ka’abah itu telah pergi melawat Rabi’atul -adawiyyah.” Apabila Ka’bah itu telah kembali ke tempatnya dan Rabi’atul-adawiyyah sedang menongkat badannya yang tua itu kepada kepada tongkatnya, maka Ibrahim Adham pun pergi bertemu dengan Rabi’atul-adawiyyah dan berkata “Rabi’atul-adawiyyah, kenapa kamu dengan perbuatanmu yang yang ganjil itu membuat haru-biru di dunia ini?” Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Saya tidak membuat satu apa pun sedemikian itu, tetapi kamu dengan sikap ria (untul mendapat publisiti) pergi ke Ka’abah mengambil masa empat belas tahun.” Ibrahim mengaku yang ia sembahyang setiap langkah dalam perjalanannya. Rabi’atul-adawiyyah berkata, “Kamu isi perjalananmu itu dengan sembahyang,tetapi aku mengisinya dengan perasaan tawaduk dan khusyuk.” Tahun kemudiannya, lagi sekali Rabi’atul-adawiyyah pergi ke Ka’abah. beliau berdoa, “Oh Tuhan! perlihatkanlah diriMu padaku.” Beliau pun berguling-guling di atas tanah dalam perjalanan itu. Terdengar suara, “Rabi’atul-adawiyyah, hati-hatilah, jika Aku perlihatkan diriKu kepadamu, kamu akan jadi abu.” Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Aku tidak berdaya memandang keagungan dan kebesaranMu, kurniakanlah kepadaku kefakiran (zahid) yang mulia di sisiMu.” Terdengar lagi suara berkata, “Kamu tidak sesuai dengan itu. Kemuliaan seperti itu dikhaskan untuk lelaki yang memfanakan diri mereka semasa hidup mereka kerana Aku dan antara mereka dan Aku tidak ada regang walau sebesar rambut pun, Aku bawa orang-orang demikian sangat hampir kepadaKu dan kemudian Aku jauhkan mereka, apabila mereka berusaha untuk mencapai Aku. Rabi’atul-adawiyyah, antara kamu dan Aku ada lagi tujuh puluh hijab atau tirai. Hijab ini mestilah dibuang dulu dan kemudian dengan hati yang suci berhadaplah kepadaKu. Sia-sia sahaja kamu meminta pangkat fakir dari Aku.” Kemudian suara itu menyuruh Rabi’atul-adawiyyah melihat ke hadapan. Dilihatnya semua pandangan telah berubah. Dilihatnya perkara yang luar biasa. Di awang-awangan ternampak lautan darah yang berombak kencang. Terdengar suara lagi, “Rabi’atul-adawiyyah, inilah darah yang mengalir dari mata mereka yang mencintai Kami (Tuhan) dan tidak mahu berpisah dengan Kami. Meskipun mereka dicuba dan diduga, namun mereka tidak berganjak seinci pun dari jalan Kami dan tidak pula meminta sesuatu dari Kami.
Dalam langkah permulaan dalam perjalanan itu, mereka mengatasi semua nafsu dan cita-cita yang berkaitan dengan dunia dan akhirat. Mereka beruzlah (memencilkan diri) dari dunia hingga tidak ada sesiapa yang mengetahui mereka. Begitulah mereka itu tidak mahu publisiti (disebarkan kepada umum) dalam dunia ini.” Mendengar itu, Rabi’atul-adawiyyah berkata, “Tuhanku! Biarkan aku tinggal di Ka’abah.” Ini pun tidak diberi kepada beliau. Beliau dibenarkan kembali ke Basrah dan menghabiskan umurnya di situ dengan sembahyang dan memencilkan diri dari orang ramai.
Suatu hari Rabi’atul-adawiyyah sedang duduk di rumahnya menunggu ketibaan seorang darwisy untuk makan bersamanya dengan maksud untuk melayan darwisy itu, Rabi’atul-adawiyyah meletakkan dua buku roti yang dibuatnya itu di hadapan darwisy itu. Darwisy itu terkejut kerana tidak ada lagi makanan untuk Rabi’atul-adawiyyah. Tidak lama kemudian, dilihatnya seorang perempuan membawa sehidang roti dan memberinya kepada Rabi’atul-adawiyyah menyatakan tuannya menyuruh dia membawa roti itu kepada Rabi’atul-adawiyyah, Rabi’atul-adawiyyah bertanya berapa ketul roti yang dibawanya itu. Perempuan itu menjawab, “Lapan belas.” Rabi’atul-adawiyyah tidak mahu menerima roti itu dan disuruhnya kembalikan kepada tuannya. Perempuan itu pergi. Kemudian datang semula. Rabi’atul-adawiyyah menerima roti itu selepas diberitahu bahawa ada dua puluh ketul roti dibawa perempuan itu. Darwisy itu bertanya kenapa Rabi’atul-adawiyyah enggan menerima dan kemudian menerima pula. Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Allah berfirman dalam Al-Quran iaitu : “Orang yang memberi dengan nama Allah maka Dia akan beri ganjaran sepuluh kali ganda. Oleh itu, saya terima hadiah apabila suruhan dalam Al-Quran itu dilaksanakan.” Suatu hari Rabi’atul-adawiyyah sedang menyediakan makanan. Beliau teringat yang beliau tidak ada sayur. Tiba-tiba jatuh bawang dari bumbung. Disepaknya bawang itu sambil berkata, “Syaitan! Pergi jahanam dengan tipu-helahmu. Adakah Allah mempunyai kedai bawang?” Rabi’atul-adawiyyah berkata, “Aku tidak pernah meminta dari sesiapa kecuali dari Allah dan aku tidak terima sesuatu melainkan dari Allah.”
Suatu hari, Hassan Al-Basri melihat Rabi’atul-adawiyyah dikelilingi oleh binatang liar yang memandangnya dengan kasih sayang. Bila Hassan Al-Basri pergi menujunya, binatang itu lari. Hassan bertanya, “Kenapa binatang itu lari?” Sebagai jawaban, Rabi’atul-adawiyyah bertanya, “Apa kamu makan hari ini?” Hassan menjawab, “Daging.” Rabi’atul- adawiyyah berkata, Oleh kerana kamu makan daging, mereka pun lari, aku hanya memakan roti kering.”
Suatu hari Rabi’atul-adawiyyah pergi berjumpa Hassan Al-Basri. Beliau sedang menangis terisak-isak kerana bercerai (lupa) kepada Allah. Oleh kerana hebatnya tangisan beliau itu, hingga air matanya mengalir dilongkang rumahnya. Melihatkan itu, Rabi’atul-adawiyyah berkata, “Janganlah tunjukkan perasaan sedemikian ini supaya batinmu penuh dengan cinta Allah dan hatimu tenggelam dalamnya dan kamu tidak akan mendapati di mana tempatnya.” Dengan penuh kehendak untuk mendapat publiksiti, suatu hari, Hassan yang sedang melihat Rabi’atul-adawiyyah dalam satu perhimpunan Aulia’ Allah, terus pergi bertemu dengan Rabi’atul-adawiyyah dan berkata, “Rabi’atul-adawiyyah, marilah kita meninggalkan perhimpunan ini dan marilah kita duduk di atas air tasik sana dan berbincang hal-hal keruhanian di sana.” Beliau berkata dengan niat hendak menunjukkan keramatnya kepada orang lain yang ia dapat menguasai air (seperti Nabi Isa a.s. boleh berjalan di atas air). Rabi’atul-adawiyyah berkata, “Hassan, buangkanlah perkara yang sia-sia itu. Jika kamu hendak benar memisahkan diri dari perhimpunan Aulia’ Allah, maka kenapa kita tidak terbang sahaja dan berbincang di udara?” Rabi’atul-adawiyyah berkata bergini kerana beliau ada kuasa berbuat demikian tetapi Hassan tidak ada berkuasa seperti itu. Hassan meminta maaf. Rabi’atul-adawiyyah berkata, “Ketahuilah bahawa apa yang kamu boleh buat, ikan pun boleh buat dan jika aku boleh terbang, lalat pun boleh terbang. Buatlah suatu yang lebih dari perkara yang luarbiasa itu. Carilah ianya dalam ketaatan dan sopan-santun terhadap Allah.” Seorang hamba Allah bertanya kepada Rabi’atul-adawiyyah tentang perkara kahwin. beliau menjawab, “Orang yang berkahwin itu ialah orang yang ada dirinya. Tetapi aku bukan menguasai badan dan nyawaku sendiri. Aku ini kepunyaan Tuhanku. Pintalah kepada Allah jika mahu mengahwini aku.”
Hassan Al-Basri bertanya kepada Rabi’atul-adawiyyah bagaiman beliau mencapai taraf keruhanian yang tinggi itu. Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Aku hilang (fana) dalam mengenang Allah.” Beliau ditanya, “Dari mana kamu datang?” Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Aku datang dari Allah dan kembali kepada Allah.” Rabi’atul-adawiyyah pernah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad S.A.W. dan baginda bertanya kepadanya sama ada beliau pernah mengingatnya sebagai sahabat. Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Siapa yang tidak kenal kepada tuan? Tetapi apakan dayaku. Cinta kepada Allah telah memenuhi seluruhku, hinggakan tidak ada ruang untuk cinta kepadamu atau benci kepada syaitan.” Demikian petikan dari cerita Rabiah adwiyah versia melayu yang menggambarkan betapa besar kecintaan Rabiah Adawiyah kepada Allah saat ia masih kecil hingga ia dewasa.
Rabi’ah adalah puteri yang keempat dari empat bersaudara. Itulah sebabnya mengapa ia dinamakan Rabiah. Keberadaan cerita Rabiah sebagai cerita yang menarik dan populer pada zamannya banyak disadur dalam berbagai bahasa  yakni cerita rabiah Adawiyah versi Arab, cerita rabiah Adawiyah versi Melayu, termasuk bahasa-bahasa di Nusantara salah satunya adalah cerita Rabiah Adawiyah yang ditulis dalam bahasa Bugis.
Berikut akan disajikan cerita Rabiah Adawiyah dari ketiga versi tersebut yaitu versi Arab, Versi Melayu, dan Versi Bugis berdasar kepada Tesis tentang “Suntingan Teks Kisah Sitti Rabiatul Adawiyah dan Pengangkatan Muatan Lokal” oleh Sitti Gomo Attas mahasiswa pascasarjana, program studi Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Ringkasan Cerita Versi Arab
Ketika usianya hampir remaja Rabiah dijadikan budak. Namun, hal ini tidak membuatnya putus harapan untuk tetap mendekatkan diri kepada Allah. Setelah Rabiah dibebaskan dari perbudakan, ia terus menjalankan ibadah kepada Allah.
Beberapa kali laki-laki datang melamar Rabiah, tetapi selalu ia tolak. Diantara laki-laki yang dating melamar Rabiah ada seorang yang berpengaruh di Basrah, namun ditolak Rabiah dengan alasan bahwa ia hanya ingin beribadah kepada Allah . Alasan lain Rabiah menolak lamaran laki-laki yang dating padanya karena mereka tidak ada yang mampu menjawab masalah kehidupan sesudah mati, yang dipertanyakan oleh Rabiah. Kehidupan sufi Rabiah yang mengabdikan dirinya kepada Tuhan ia jalankan sampai akhir hidupnya, tanpa pernah menikah.
Ringkasan Cerita Versi Melayu
Cerita ini dimulai tatkala Rabiah berguru kepada Syekh Junaidi bin Saman farj. Gurunya melamar Rabiah, namun ditolak ooleh Rabiah. Akhirnya Rabiah menerima lamaran gurunya karena takut durhaka. Lamaran itu diterimanya hanya dengan khutbah nikah, tetapi Rabiah meminta suaminya agar tidak menyentuhnya.
Setelah suaminya wafat, Rabiah didatangi oleh empat syekh, yaitu Syekh Syari`at, Syekh Tarikat, Syekh Hakikat, dan Syekh Makrifat. Keempat syekh dating melamar Rabiah. Namun, ia tolak karena tidak bisa menjawab masalah tasawuf yang diajukan oleh raja kepada keempat syekh itu. Hanya Rabiah yang mampu menjawab semua pertanyaan itu. Raja Sa`id yang mengajukan pertanyaan tersebut kagum kepada Rabiah dan melamarnya, tetapi sebelum Rabiah menerima lamaran Raja Sa`id. Rabiah telah berpulang ke rahmatullah yang diikuti oleh Raja Sa`id.
Ringkasan Cerita Versi Bugis
Kisah ini dimulai ketika Sitti Rabiatul Adawiyah berguru kepada seorang syekh yang bernama Zainul Arifin. Karena takut durhaka kepada gurunya, Rabiah pun menerima lamaran yang diajukan oleh Zainul Arifin. Setelah gurunya yang sekaligus menjadi suaminya meninggal dunia, Rabiah dilamar oleh empat bersaudara. Namun, karena alasan bahwa suaminya baru meninggal maka Rabiah menolak lamaran tersebut.
Setelah itu, Rabiah didatangi oleh empat saudagar kaya yang ingin melamarnya. Namun, karena empat saudagar itu tidak mampu menjawab pertanyaan Rabiah tentang isi dunia yaitu laki-laki dan wanita, maka lamaran empat saudagar pun ditolak.
Selanjutnya, datanglah seorang raja bernama Raja Akbar yang mempunyai pengetahuan agama yang cukup tinggi dan mampu menjawab pertanyaan Rabiah tentang makna shalat di hari kemudian. Raja Akbar dengan lancart menjawab semua pertanyaan Rabiah. Akhirnya, rabiah dinikahkan dengan Raja Akbar sesuai dengan hokum yang berlaku dalam perkawinan.
Setelah mereka menikah, tidak lama kemudian Raja akbar dan Rabiah dikaruniai seorang puteri yang diberi nama I Daramatasia. Raja Akbar pernah bernazar jika ia dapat berjodoh dengan Rabiah dan memiliki seorang anaka perempuan, maka ia akanmengawinkan dengan seorang ahli agama yang mengabdikan diri di jalana Allah. Nazar itu diolaksanakan suami-istri (Raja Akbar dan Rabiah) untuk menikahkan puterinya yang telah selesai belajar agama kepada ulama yang shaleh.
Selanjutnya cerita ini menceritakan rumah tangga puteri Rabiah, I Daramatasia dengan suaminya.
Dibawah ini penulis sertakan kutipan Cerita Rabiah dalam versi Bugis yang diambil dari iriantosyahkasim.multiply.com sebagai berikut : Cerita Rabiah dalam versi Bugis mengungkap alur yang sarat dengan nilai-nilai budaya yang dianggap sebagai penyemangat tokoh dalam menjalankan kehidupan. Nilai budaya itu, yakni Siri’ dalam sistem perkawinan yang digambarkan dalam cerita Rabiah. Selain itu, juga Siri dalam semangat merantau dan semangat belajar ilmu agama.
Kisah Rabiah Al Adawiyah dalam versi ini, memberikan penjelasan sistem adat dalam budaya Bugis yang dikenal dengan istilah ‘Pangaderreng’. Panggaderreng dapat diartikan sebagai keseluruhan norma yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkah laku terhadap sesama manusia dan terhadap pranata sosialnya secara timbal balik, dan yang menyebabkan adanya gerak (dinamis) masyarakat.
Unsur terakhir dalam ‘Panggaderreng’ adalah sistem adat yang berasal dari ajaran Islam dan masuk ke dalam “Panggaderreng’ setelah masuknya pengaruh Islam ke dalam masyarakat Bugis sekitar Abad ke-17. Sistem adat masyarakat Bugis terdiri dari lima unsur, yakni Ade’ (adat atau perlakuan budaya), Bicara (pertimbangan), Rapang (Undang-Undang), Wari’ (klasifikasi atas segala peristiwa), dan Sara’ (hukum syariah). Kelima unsur tersebut terjalin satu sama lain sebagai satu kesatuan organisasi dalam alam pikiran orang Bugis, yang memberi dasar sentimen kewargaan masyarakat dan rasa harga diri yang semuanya terkandung dalam konsep siri’. Selanjutnya, kata Sitti Gomo, konsep siri ini adalah nilai budaya yang mengintegrasikan secara organisasi semua unsur ‘Panggaderreng’. Artinya konsep Siri meliputi banyak aspek dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan orang Bugis seperti yang tercermin dalam naskah Rabiah Al-Adawiyah versi Bugis. “C.H. Salambasyah dan kawan-kawan memberikan batasan kata Siri dengan tiga golongan pengertian, yakni Siri itu sama artinya dengan malu, Siri sebagai daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, dan mengusir terhadap barang siapa atau apa yang menyinggung perasaan mereka, dan Siri itu sebagai semangat (Summange) untuk membanting tulang, bekerja mati-matian untuk suatu usaha.
Persamaan dan Perbedaan
Berdasarkan ringkasan cerita diatas dapat disimpulkan bahwa ketiga cerita tersebut yaitu cerita rabiah versi Arab, cerita rabiah versi Melayu, dan cerita Rabiah versi Bugis mempunyai persamaan dan perbedaan. Untuk jelasnya hal tersebut dapat digambarkan melalui bagan sebagai berikut :

EpisodeCerita Versi   ArabCerita Versi MelayuCerita Versi Bugis
Sejak kecil Rabiah beribadah dengan baik+++
Rabiah berguru-++
Rabiah menjadi ahli agama yang terkenal+++
Dilamar oleh gurunya-++
Lamaran gurunya diterima-++
Rabiah dilamar oleh empat Syekh-++
Lamaran ditolak-++
Rabiah dilamar oleh saudagar+-+
Lamaran ditolak Rabiah+-+
Rabiah dilamar oleh raja/penguasa+++
Rabiah mengajukan pertanyaan+-+
Pertanyaan dapat dijawab--+
Lamaran diterima--+
Rabiah menikah--+
Rabiah memiliki anak--+
Keterangan : (+) = ada/ya       (-) = tidak/tidak ada
Dari gambaran diatas terlihat adanya perbedaan dan persamaan peristiwa dalam cerita versi Arab, cerita versi Melayu, dan cerita versi Bugis. Persamaan yang dpat ditemukan dalam tiga ketiga cerita tersebut berdasarkan episode ialah peristiwa masa kecil Rabiah yang telah mampu beribadah dengan baik. Peristiwa penguasaan agama secara tuntas sehingga menjadi sufi yang terkenal di negerinya. Kecantikan dan ilmu tinggi dimiliki oleh Rabiah. Ketika itu, banyak yang dating melamar  Rabiah termasuk penguas dinegerinya. Ketiga peristiwa tersebut diungkapkan didalam ketiga cerita sebagai bentuk dasar cerita.
Sebaliknya berdasarkan bagan diatas terdapat perbedaan yang ditemukan oleh peneliti dalam ketiga cerita tersebut. Pada cerita versi Arab menunjukan tokoh Rabiah sampai akhir hidupnya tidak menikah, sedangkan pada cerita versi Melayu tokoh rabiah akhirnya menerima lamaran gurunya, dengan syarat gurunya tidak boleh menyentuh dirinya. Pada cerita versi Bugis tokoh rabiah justru menerima lamaran gurunya dan menikah dengan Raja Akbar serta memiliki anak.

KARYA RABIAH ADAWIYAH
Rabiah Adawaiyah dianugerahi kemampuan luar biasa dalam bidang sastra. Ia mampu membuat puisi/syair yang begitu indah melambangkan kecintaan beliau kepada Allah. Berikut salah satu puisi karya Rabiah Adawiyah
يا ســروري ومـنـيـتـي وعـمـادي ::::: وأنـيــســي وعــدتي ومرادي.
أنـت روح الـفـؤاد أنــت رجــائي ::::: أنت لي مؤنس وشوقك زادي.
أنـت لـولاك يـا حـيـاتـي وأنـسـي ::::: مـا تـشتـت فـي فـسيــح البلاد.
كـم بـدت مـنـةٌ، وكـم لـك عـنـدي ::::: مـن عـطــاء ونـعـمـة وأيـادي.
حـبـك الآن بـغـيـتـي ونـعـيـمــي ::::: وجــلاء لـعـيـن قـلبي الصادي.
إن تـكـن راضـيـاً عـنـي فـأنـني ::::: يا مـنـي الـقـلـب قد بدا إسعادي

Rabiah Adawiyah dikenal sebagai sufi yang mendalami tentang Mahabbah. Berikut adalah kumpulan syair Mahabbah karya Rabiah Adawiyah
Cinta tidak pernah meminta, ia senantiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan.
Tuhan memberi kita dua kaki untuk berjalan, dua tangan untuk memegang, dua telinga untuk mendengar dan dua mata untuk melihat. Tetapi mengapa Tuhan hanya menganugerahkan sekeping hati pada kita? Karena Tuhan telah memberikan sekeping lagi hati pada seseorang untuk kita mencarinya. Itulah namanya Cinta.
Ada dua titis air mata mengalir di sebuah sungai. Satu titis air mata tu menyapa air mata yg satu lagi,” Saya air mata seorang gadis yang mencintai seorang lelaki tetapi telah kehilangannya. Siapa kamu pula?”. Jawab titis air mata kedua itu,” Saya air mata seorang lelaki yang menyesal membiarkan seorang gadis yang mencintai saya berlalu begitu sahaja.”
Cinta sejati adalah ketika dia mencintai orang lain, dan kamu masih mampu tersenyum, sambil berkata: aku turut bahagia untukmu.
Jika kita mencintai seseorang, kita akan sentiasa mendoakannya walaupun dia tidak berada disisi kita.
Jangan sesekali mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba. Jangan sesekali menyerah jika kamu masih merasa sanggup. Jangan sesekali mengatakan kamu tidak mencintainya lagi jika kamu masih tidak dapat melupakannya.
Perasaan cinta itu dimulai dari mata, sedangkan rasa suka dimulai dari telinga. Jadi jika kamu mahu berhenti menyukai seseorang, cukup dengan menutup telinga. Tapi apabila kamu Coba menutup matamu dari orang yang kamu cintai, cinta itu berubah menjadi titisan air mata dan terus tinggal dihatimu dalam jarak waktu yang cukup lama.
Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.
Jangan simpan kata-kata cinta pada orang yang tersayang sehingga dia meninggal dunia , lantaran akhirnya kamu terpaksa catatkan kata-kata cinta itu pada pusaranya . Sebaliknya ucapkan kata-kata cinta yang tersimpan dibenakmu itu sekarang selagi ada hayatnya.
Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dan bercinta dengan orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti bagaimana berterima kasih atas kurniaan itu.
Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat -Hamka
Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat.
Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu, tetapi lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan kamu tidak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan cintamu kepadanya.
Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu. Hanya untuk menemukan bahawa pada akhirnya menjadi tidak bererti dan kamu harus membiarkannya pergi.
Kamu tahu bahwa kamu sangat merindukan seseorang, ketika kamu memikirkannya hatimu hancur berkeping.
Dan hanya dengan mendengar kata “Hai” darinya, dapat menyatukan kembali kepingan hati tersebut.
Tuhan ciptakan 100 bahagian kasih sayang. 99 disimpan disisinya dan hanya 1 bahagian diturunkan ke dunia. Dengan kasih sayang yang satu bahagian itulah, makhluk saling berkasih sayang sehingga kuda mengangkat kakinya kerana takut anaknya terpijak.
Kadangkala kamu tidak menghargai orang yang mencintai kamu sepenuh hati, sehinggalah kamu kehilangannya. Pada saat itu, tiada guna sesalan karena perginya tanpa berpatah lagi.
Jangan mencintai seseorang seperti bunga, kerana bunga mati kala musim berganti. Cintailah mereka seperti sungai, kerana sungai mengalir selamanya.
Cinta mampu melunakkan besi, menghancurkan batu, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dasyatnya cinta !
Permulaan cinta adalah membiarkan orang yang kamu cintai menjadi dirinya sendiri, dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kamu inginkan. Jika tidak, kamu hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kamu temukan di dalam dirinya.
Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitis embun yang turun dari langit,bersih dan suci. Cuma tanahnyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus,tumbuhlah oleh kerana embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipu, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh kepada tanah yang subur,di sana akan tumbuh kesuciaan hati, keikhlasan, setia budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji.~ Hamka
Kata-kata cinta yang lahir hanya sekadar di bibir dan bukannya di hati mampu melumatkan seluruh jiwa raga, manakala kata-kata cinta yang lahir dari hati yang ikhlas mampu untuk mengubati segala luka di hati orang yang mendengarnya.
Kamu tidak pernah tahu bila kamu akan jatuh cinta. namun apabila sampai saatnya itu, raihlah dengan kedua tanganmu,dan jangan biarkan dia pergi dengan sejuta rasa tanda tanya dihatinya
Cinta bukanlah kata murah dan lumrah dituturkan dari mulut ke mulut tetapi cinta adalah anugerah Tuhan yang indah dan suci jika manusia dapat menilai kesuciannya.
Bukan laut namanya jika airnya tidak berombak. Bukan cinta namanya jika perasaan tidak pernah terluka. Bukan kekasih namanya jika hatinya tidak pernah merindu dan cemburu.
Bercinta memang mudah. Untuk dicintai juga memang mudah. Tapi untuk dicintai oleh orang yang kita cintai itulah yang sukar diperoleh.
Satu-satunya cara agar kita memperolehi kasih sayang, ialah jangan menuntut agar kita dicintai, tetapi mulailah memberi kasih sayang kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan.
Daftar Pustaka

Biografi Abu Muhammad Daud Teupin Gajah

ABU MUHAMMAD DAUD AL YUSUFI; Ulama Kharismatik dan Pimpinan Dayah Madinatuddiniya h Babussa'adah. Beliau adalah ulama kharisma...