Kumpulan
biografi dan kisah ulama-ulama sumatra pada masa ke masa
$yJ¯RÎ) Óy´øs ©!$# ô`ÏB ÍnÏ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$# 3 cÎ) ©!$# îÍtã îqàÿxî ÇËÑÈ
Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama[QS. Faathir;28].
Makalah
ini disusun oleh
Tgk
Budi gayanto Al-khairy
Aceh,
2013
KATA
PENGATAR
Puji syukur
kehadhirat Allah SWT. Yang telah menkarunia i’anahnya dan ilmunya serta dengan
izin dan do’a kepadanyalah saya bisa menulis makalah ini, dari berbagai macam
sumber, hanya semata-mata mengharapkan keridhoaan Allah SWT. Dan mudah-mudahan
menjadi alat sebagai motivator untuk mencitai ulama, karna bahwasanya ulama
ibarat sumur dan Allah SWT turunkan ilmu agamanya kebumi dalam sumur tersebut,
siapa saja yang mengiginkan ilmu tersebut maka sepatutnyalah ia mencintai
ulama.
Shalawat
beriring dengan salam selalu tercurahkan kepada baginda yang mulia saydina
Muhammad SAW. Cerminan bagi ummat dalam menjalani kehidupan untuk mencapai
suatu kebenaran dan keridhoaan Allah SWT. Serta kepada ahli keluarganya dan
Sahabatnya sekalian.
Shalawat
beiring dengan salam juga kepada seluruh ‘alim ulama, baik ulam mutaqaddimin
maupun ulama mutaakhirin.
Adapun
urutan biografi dalam makalah ini hanya berdasarkan perolehan informasi, bukan
karna ke’liman.
Terakhir penulis sadari makalah ini
masih banyak kekurangan, dimana terdapat kesalahan mohon diberi saran untuk
mencapai suatu kebenara karena,”ruju’ ilal haq wajibun”.
Penulis
Budi gayanto Al-khayry
Daftar isi
1.
Kata pengatar.......................................................................................
2.
Daftar isi...............................................................................................
3.
Abuya Syeh Muda Wali Al-khalidy.......................................................
4.
Abu Ibrahim woyla...............................................................................
5.
Abu Hasan Krung Kale.........................................................................
6.
Syeh Abdurrauf As-singkili...................................................................
7.
Teugku peulumat................................................................................
8.
Abi Thantawi Jauhari...........................................................................
9.
Abu Ahmad Lam Ateuk.......................................................................
10.
Abuya Prof. DR. Muhibbuddin Waly...................................................
11.
Daftar
blog, web, pustaka..................................................................
Profil Sheikh Muda Waly al
Khalidy An Naqsyabandy Al Asyiy
Bismillahirrahmanirrahim.
Syech Muda
Waly
Syech Muda Waly al-Khalidy
An-Naqsyabandy Al-Asyiy atau lebih dikenal Syech Muda Waly Al khalidy
dilahirkan di Desa Blang Poroh Kecamatan Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan
pada tahun 1917. Beliau adalah putra bungsu dari Syech H. Muhammad Salim bin
Malin Palito. Ayah beliau berasal dari Batu sangkar, Sumatra Barat. Beliau
datang ke Aceh Selatan awalnya dengan maksud sebagai da’i. Sebelumnya, paman
beliau yang masyhur dipanggil masyarakat Labuhan Haji dengan Tuanku Peulumat
yang nama aslinya Syech Abdul Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan Haji.
Tak
lama setelah Sheikh Muhammad salim menetap di Labuhan Haji, beliau dijodohkan
dengan seorang wanita yang bernama Siti
Janadat, putri seorang kepala desa yang bernama Keuchik Nya` Ujud yang berasal dari Desa Kota Palak,
Kecamatan Labuhan Haji Aceh Selatan. Siti Janadat meninggal dunia pada saat
melahirkan adik dari Syech Muda Waly. Beliau meninggal bersama bayinya. Syech
Muhammad salim sangat menyayangi Syech Muda Wali melebihi saudaranya yang lain.
Kemana saja beliau pergi mengajar dan berdakwah Syech Muda Waly selalu
digendong oeh ayahnya. Mungkin Syech Muhammad Salim telah memiliki firasat
bahwa suatu saat anaknya ini akan menjadi seorang ulama besar, apalagi pada
saat Syech Muda Waly masih dalam kandungan, beliau bermimpi bulan purnama turun
kedalam pangkuannya. Nama Syech Muda Waly pada waktu kecil adalah Muhammad
Waly.
Pada saat beliau berada di
Sumatra Barat, beliau dipanggil dengan gelar Angku Mudo atau Angku Mudo Waly
atau Angku Aceh. Setelah beliau kembali ke Aceh masyarakat memanggil beliau
dengan Teungku Muda Waly. Sedangkan beliau sering menulis namanya sendiri
dengan Muhammad Waly atau lengkapnya Syech Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.
Perjalanan pendidikannya
Syech Muda Waly belajar Al-Qur’an dan kitab-kitab kecil tentang tauhid, fiqh,
dan dasar ilmu Bahasa Arab kepada ayahnya. Di samping itu beliau juga masuk
sekolah Volks-School yang didirikan oleh Belanda. Setelah tamat sekolah Volks
School, beliau dimasukkan ke sebuah pesantren di Ibukota Labuhan Haji,
Pesantren Jam’iah Al-Khairiyah yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Ali yang
dikenal oleh masyarakat dengan panggilan Teungku Lampisang dari Aceh Besar
sambil beliau sekolah di Vervolg School. Setelah lebih kurang 4 tahun beliau
belajar di pesantren Al-Khairiyah beliau diantarkan oleh ayahnya ke pesantren
Bustanul Huda di Ibukota Kecamatan Blangpidie. Sebuah pesantren Ahlussunnah wal
jama’ah sama seperti Pesantren Al-Khairiyah, yang dipimpin oleh seorang ulama
besar yang datang dari Aceh Besar, Syekh Mahmud. Di pesantren Bustanul Huda,
barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang masyhur di kalangan ulama
Syafi’iyah seperti I’anatut Thalibin, Tahrir, dan Mahally dalam ilmu fiqh,
Alfiyah dan Ibn ‘Aqil dalm ilmu Nahwu dan sharaf. Setelah beberapa tahun di
Pesantren Bustanul Huda, terjadilah satu masalah antara beliau dengan gurunya,
Teungku Syech Mahmud. Yaitu perbedaan perdapat antara beliau dengan gurunya
tersebut tentang masalah berzikir dan bershalawat sesudah shalat di dalam
masjid secara jahar.
Di kemudian harinya Syech
Muda Waly ingin melanjutkan pendidikan ke pesantren lainnya di Aceh Besar,
tetapi sebelumnya, ayah Syech Muda Waly, Haji Muhammad Salim meminta izin
kepada Syech Mahmud, minta do’anya untuk dapat melanjutkan pendidikan ke
pesantren lainya dan yang terpenting meminta maaf atas kelancangan Syech Muda
Waly berbeda pendapat dengan gurunya dalam masalah tersebut. Berkali-kali
beliau dan ayahnya meminta ma’af kepada Syech Mahmud tetapi beliau tidak
menjawabnya. Pada akhirnya setelah beliau kembali dari Sumatra Barat dan Tanah
suci, Makkah, maka timbullah kasus di Kecamatan Blangpidie. Ada seorang ulama
dari kaum Muda dari PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang bernama Teungku
Sufi, mendirikan Madrasah Islahul Umum di Susuh, Blangpidie, berda’wah dan
membangkitkan masalah-masalah khilafiyah.
Dalam satu perdebatan terbuka
di Ibukota Kecamatan Blangpidie, dia mengungkapkan dalil dan alasannya sehingga
hampir kebanyakan ulama termasuk Teungku Haji Muhammad Bilal Yatim dapat
dikalahkan. Tetapi pada waktu giliran perdebatan Teungku Sufi tersebut dengan
Syech Muda Waly semua dalil dan alasannya beliau tolak, beliau hancurkan
tembok-tembok alasannya sehingga kalah total di depan umum. Tak lama setelah
itu barulah Syech Mahmud memaafkan kesalahan Syech Muda Waly yang berani
berbeda pendapat dengan gurunya tersebut pada waktu masih belajar di Bustanul
Huda. Setelah beberapa tahun belajar di Bustanul Huda, beliau mengungkapkan
niatnya untuk melanjutkan pendidikannya ke pesantren di Aceh Besar kepada
ayahnya, Syech H. Muhammad Salim. Ayah beliau sangat senang mendengarkan niat
beliau. Apalagi Syech H. Muhammad Salim telah mengetahui bahwa putranya ini
telah menamatkan kitab-kitab agama yang dipelajari di Pesantren Bustanul Huda.
Sebagai
bekal dalam perjalanan beliau dari Labuhan Haji, ayahanda beliau memberikan
sebuah kalung emas yang tidak lain merupakan milik kakak kandung Syech Muda
Waly, yaitu Ummi Kalsum. Beliau diantar oleh ayahanda beliau dari desanya
sampai ke Kecamatan Manggeng. Setelah sampai ke Manggeng, ayahanda beliau
berkata ”Biarkan
aku antarkan engkau sampai ke Blangpidie”. Sesampainya di
Blangpidie, Syech Muhammad Salim berkata kepada putranya, Syech Muda Waly ”biarkan aku antarkan engkau
sampai ke Lama Inong”. Pada kali yang ketiga ini Syech Muda
Waly merasa keberatan, karena seolah-olah beliau seperti tidak rela melepaskan
anaknya merantau jauh untuk menuntut ilmu.
Syech
Muda Waly berangkat ke Aceh Besar ditemani seorang temannya yang juga merupakan
tamatan dari pesantren Bustanul Huda, namanya Teungku Salim, beliau merupakan
seorang yang cerdas dan mampu membaca kitab-kitab agama dengan cepat dan
lancar. Sesampainya di Banda Aceh, beliau berniat memasuki Pesantren di Krueng
Kale yang dipimpin oleh Syekh H. Hasan Krueng Kale, ayahanda dari Syech H.
Marhaban, menteri muda pertanian Indonesia pada masa Soekarno. Beliau sampai di
Pesantren Krueng Kale pada pagi hari, pada saat syech Hasan Krueng Kale sedang
mengajar kitab-kitab agama. Di antara kitab yang dibacakan adalah kitab Jauhar
Maknun. Syech Muda Waly mengikuti pengajian tersebut. Sebelum Dhuhur selesailah
pembacaan kitab tersebut, dengan kalimat terakhir Wa huwa hasbi wa ni’mal wakil.
Setelah selesai pengajian Syech Muda Waly merasa bahwa syarahan-syarahan yang
diberikan oleh Syech Hasan Krueng Kale tidak lebih dari pengetahuan yang beliau
miliki dan apabila beliau membacakan kitab tersebut maka beliau juga akan
sanggup menjelaskan seperti syarahan yang dipaparkan oleh Syech Hasan Basri.
Walaupun demikian beliau tetap menganggap Syech Hasan Krueng Kale sebagai guru
beliau. Bagi Syech Muda Waly, cukuplah sebagai bukti kebesaran Syech Hasan
Krueng Kale, apabila guru beliau Syech Mahmud Blang Pidie adalah seorang
alumnus Pesantren Kurueng Kale. Syech Muda Waly hanya satu hari di Pesantren
krueng Kale. Beliau bersama Tengku Salim mencari pesantren lain untuk menambah
ilmu. Akhirnya merekapun berpisah. Pada saat itu ada seorang ulama lain di
Banda Aceh yaitu Syech Hasballah Indrapuri, beliau memiliki sebuah Dayah di
Indrapuri. Pesantren ini lebih menonjol dalam ilmu Al-Qur’an yang berkaitan
dengan qiraat dan lainnya. Syech Muda Waly merasakan bahwa pengetahuan beliau
tentang ilmu Al-Qur’an masih kurang. Inilah yang mendorong beliau untuk
memasuki Pesantren Indrapuri.
Abu Krueng
Kalee
Pesantren Indrapuri tersebut
dalam sistem belajar sudah mempergunakan bangku, satu hal yang baru untuk kala
itu. Pada saat mengikuti pelajaran, kebetulan ada seorang guru yang membacakan
kitab-kitab kuning, Syech Muda Waly tunjuk tangan dan mengatakan bahwa ada
kesalahan pada bacaan dan syarahannya, maka beliau meluruskan bacaan yang benar
beserta syarahannya. Dari situlah Ustadz dan murid-murid kelas itu mulai
mengenal anak muda yang baru datang ke pesantren itu dan memiliki pengetahuan
yang luas. Maka ustadz tersebut mengajak beliau ke rumahnya dan memerintahkan
kepada pengurus pesantren untuk mempersiapkan asrama tempat tinggal untuk
beliau, kebetulan sekali pada saat itu perbekalan yang dibawa Syech Muda Waly
sudah habis, maka dengan adanya sambutan dari pengurus pesantren tersebut
beliau tidak susah lagi memikirkan belanja. Pimpinan Pesantren Indrapuri
tersebut, Teungku Syech Hasballah Indrapuri sepakat untuk mengangkat Syech Muda
Waly sebagai salah satu guru senior di Pesantren tersebut. Semenjak saat itu
Syech Muda Waly mengajar di pesantren tersebut tanpa mengenal waktu. Pagi,
siang, sore dan malam semua waktunya dihabiskan untuk mengajar. Tinggallah sisa
waktu luang hanya antara jam dua malam sampai subuh. Waktu itupun tetap diminta
oleh sebagian santri untuk mengajar. Selama tiga bulan beliau mengajar di Dayah
tersebut.
Karena padatnya jadwal beliau
dan beliau kelihatan kurus, tetapi alhamdulillah walaupun demikian beliau tidak
sakit. Setelah sekian lamanya di Pesantren Indrapuri, datanglah tawaran dari
salah seorang pemimpin masyarakat yaitu Teuku Hasan Glumpang Payung kepada
Syech Muda Waly untuk belajar ke sebuah perguruan di Padang, Normal Islam
School yang didirikan oleh seorang ulama tamatan Al-Azhar, Mesir Ustadz Mahmud
Yunus. Teuku Hasan tersebut setelah memperhatikan pribadi Syech Muda Waly,
timbullah niat dalam hatinya bahwa pemuda ini perlu dikirim ke Al-Azhar, Mesir.
Tetapi karena di Sumatra Barat sudah terkenal ada seorang Ulama yang telah
menamatkan pendidikannya di Al-Azhar dan Darul Ulum di Cairo, Mesir yang
bernama Ustadz Mahmud Yunus yang telah mendirikan sebuah perguruan di Padang
yang bernama Normal Islam School yang sudah terkenal kala itu melebihi
perguruan-perguruan sebelumnya seperti Sumatra Thawalib. Oleh sebab itu Teuku
Hasan mengirimkan Syech Muda Waly ke pesantren tersebut sebagai jenjang atau
pendahuluan sebelum melanjutkan ke al-Azhar.
Berangkatlah
Syech Muda Waly menuju Sumatra barat dengan kapal laut. Beliau sama sekali
tidak mengetahui tentang Sumatra Barat sedikit pun, di mana letak Normal Islam
School dan kemana beliau harus singgah. Tiba tiba saja ada seorang penumpang
yang telah lama memperhatikan tingkah laku dan gerak gerik Syech Muda Waly
selama di kapal, bersedia membantu Syech Muda Waly untuk bisa sampai ke tempat
yang beliau tuju. Setelah sampai di Normal Islam beliau segera mendaftarkan
diri di Sekolah tersebut. Lebih kurang tiga bulan beliau di Normal Islam dan
akhirnya beliau mengundurkan diri dan keluar dengan hormat dari Lembaga
pendidikan tersebut. Hal ini beliau lakukan dengan beberapa alasan : 1.
Cita-cita melanjutkan pendidikan kemana saja termasuk ke Normal Islam dengan
tujuan memperdalm ilmu agama, karena cita-cita beliau mudah-mudahan beliau
menjadi seorang ulama sperti ulama ulama besar lainnya. Tetapi rupanya ilmu
agama yang diajarkan di Normal Islam amat sedikit. Sehingga seolah-olah para
pelajar disitu sudah dicukupkan ilmu agamanya dengan ilmu yang didapati sebelum
memasuki pesantren tersebut. 2. Di
Normal Islam pelajaran umum lebih banyak diajarkan ketimbang pelajaran agama.
Disana diajarkan ilmu matematika, kimia, biologi, ekonomi, ilmu falak, Sejarah
Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, Ilmu Khat dan pelajaran olahraga. 3. Di
normal Islam beliau harus menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan di
lembaga tersebut, Di situ para pelajar diwajibkan memakai celana, memakai dasi,
ikut olah raga di samping juga mengikuti pelajaran umum di atas. Menurut hemat
Syech Muda Waly, kalau begini, lebih baik beliau pulang ke Aceh mengamalkan dan
mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki daripada menghabiskan waktu dan usia
di Sumatra Barat. Setelah beliau keluar dari Normal Islam, beliau bertemu
dengan salah seorang pelajar yang juga berasal dari Aceh dan sudah lama di
Padang yaitu Ismail Ya’qub, penerjemah Ihya ‘Ulumuddin. Bapak Ismail Ya’qub
menyampaikan kepada Syech Muda Waly supaya jangan cepat-cepat pulang ke Aceh,
tetapi menetaplah dulu di Padang, barangkali ada manfaatnya. Pada suatu sore
beliau mampir untuk berjamaah maghrib di sebuah surau yaitu di Surau Kampung
Jao. Setelah shalat maghrib kebiasaan disurau itu diadakan pengajian dan
seorang ustadz mengajar dengan membaca kitab berhadapan dengan para jamaah.
Rupanya apa yang dibaca oleh ustaz itu beserta syarahan yang di sampaikan
menurut Syech Muda Waly tidak tepat, maka beliau membetulkan. Sehingga ustaz
itu dapat menerima. Sedangkan jamaah para hadirin bertanya-tanya tentang anak
muda yang berani bertanya dan membetulkan pendapat ustaz itu. Akhirnya para
jamaah beserta ustaz tersebut meminta beliau supaya datang kesurau itu untuk
menjadi imam solat dan mengajarkan ilmu agama. Begitulah dari hari ke hari,
ayahku mulai dikenal dari satu surau ke surau yang lain, dan dari satu mesjid
ke mesjid yang lain. Apalagi beliau bukan orang padang, tetapi dari daerah Aceh
dan nama Aceh sangat harum dalam pandangan ummat Islam Sumatra barat. Dan yang
lebih mengagumkan lagi ialah kemahiran beliau dalam ilmi fiqh, tasawwuf, nahu
dan lain. Barulah sejak itu beliau dipangil oleh masyarakat dengan Angku Mudo
atau Angku Aceh. Pada masa itu pula sedang hangat-hangatnya di Sumatra Barat
tentang masalah-masalah keagamaan yang sifatnya adalah sunat-sunat seperti
masalah usalli, masalah hisab dalam memulai puasa Ramadan, hari raya ‘Id
al-fitr dan lain lain. Terjadilah perdebatan antara kelompok kaum tua dengan
kelompok kaum muda.
Syech Muda Waly berasal dari
Aceh dalam kelahiran, dan pendidikannya, tentu saja berpendirian dalam semua
masalah masalah itu seperti pendirian para ulama Aceh sejak zaman dahulu,karena
semua ulama Aceh khususnya dalam bidang syari’at dan fiqh islam tidak ada bertentangan
antara yang satu dengan yang lain. Apalagi ulama ulama Aceh zaman dahulu
seperti syeich Nuruddin ar-Raniri, Syeich Abdul Rauf al-Fansuri al-Singkili
(Syiahkuala), Syeich Hamzah Fansuri, Syech Syamsuddin as-Sumatrani dan lain
lain. Semuanya bermazhab Syafi’i dan antara mereka tidak terjadi pertentangaan
dalam syari’at dan fiqh Islam kecuali hamya perbedaan pendapat dalam masalah
tauhid yang pelik dan sangat mendalam, yaitu masalah Wahdah al-Wujud, juga
masalah hukum Islam yang berkaitan dengan politik, seperti masalah wanita
menjadi raja. Karena itulah maka semua masalah masalah kecil di atas sangat
dikuasai oleh Syech Muda Waly dalil-dalil hukum dan alasan alasannya, al-Qur’an
dan hadist, dan juga dari kitab-kitab kuning. Karena itulah, maka terkenallah
beliau di kota padang dan mulai dikenal pula oleh seorang ulama besar di kota
padang itu, yaitu syeich Haji Khatib Ali, ayahandanya Prof. Drs. H. Amura.
Syeich Khatib Ali ulama besar ahli al-sunnah wa al-jama’ah di Padang. Murid
daripada Syeich Ahmad Khatib di Mekkah Al-Mukarramah. Beliu mendapat ijazah
ilmu agama dari Syeich Ahmad Khatib dan mendapat pula ijazah Tariqat
Naqsyabandiyah daripada Syeich Ustman Fauzi Jabal Qubais Mekkah al-Mukarramah.
Yang menjadikan beliu terkenal di padang karena kegigihannya mempertankan
‘aqidah Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah dan Mazhab Syafi`i, di samping pula beliu
adalah menantu seorang ulama besar dalam ilmu syari’at dan tariqat, yaitu
Syeich Sa’ad Mungka. Syeich Sa’ad Mungka. Syech Khatib Ali sangat tertarik
kepada Syech Muda Waly sehingga beliau menjodohkan Syech Muda Waly dengan
seorang family beliau yaitu Hajjah Rasimah, yang akhirnya melahirkan Syech
Prof. Muhibbuddin Waly. Sejak itulah kemasyhuran Syech Muda Wali semakin
meningkat dan terus ditarik oleh ulama-ulama besar lainnya dalam kelompok para
ulama kaum tua, tetapi beliau secara tidak langsung juga mengambil hal-hal yang
baik dari ulama-ulama lainnya, seperti orag tuanya Buya Hamka, Haji Rasul.
Kemudian Syech Muda waly juga
berkenalan dengan Syekh Muhammad Jamil Jaho. Maka beliau mengikuti pengajian
yang diberikan oleh Ulama besar Padang tersebut. Hubungan beliau dengan Syech
Muda Waly pada mulanya hanya sekadar guru dan murid. Syech Jamil Jaho adalah
seorang Ulama Minangkabau, murid Syech Ahmad Khatib. Beliau diakui kealimannya
oleh ulama lainnya terutama dalam ilmu bahasa Arab. Di Pesantren jaho itulah
Syech Muhammad Jamil Jaho mengumpulkan murid muridnya yang pintar untuk mencoba
pengetahuan Syech Muda Waly pada lahiriyahnya mereka seperti mengaji pada Syech
Muda Waly tapi pada hakikatnya adalah untuk menguji dan mencoba Syech Muda Waly
dengan berbagai ilmu alat. Rupanya semua debatan tersebut dapat dijawab oleh
Syech Muda Waly. Dari situlah, Syech Muda Waly semakin terkenal dikalangan para
ulama Minangkabau.
Akhirnya Syech Muda Waly
dinikahkan dengan putri Syech Muhammad Jamil Jaho yaitu dengan seorang putrinya
yang juga alim, Hajjah Rabi’ah yang akhirnya melahirkan Syech H. Mawardi Waly.
Akhirnya Syech Muda Waly menempati rumah pemberian paman istri beliau yang
pertama, Hajjah Rasimah. Rumah itu terdiri dari dari dua tingkat. Pada bagian
bawahnya di gunakan sebagai madrasah tempat majlis ta’lim. Apabila datang
hari-hari besar Islam, ummat Islam di Kota Padang beramai-ramai datang ke rumah
tersebut. Para Ulama Kota Padang khususnya sering berdatangan ke rumah tersebut
karena bila tak ada undangan Syech Muda Waly sibuk mengajar dan berdiskusi
dengan para ulama lainnya. Apalagi dalam rumah itu juga tinggal seorang ulama
besar lain, Syech Hasan Basri, menantu dari Syech Khatib Ali Padang dan suami
dari Hajjah Aminah, ibunda dari istri beliau Hajjah Rasimah.
Pada
tahun 1939 Syech Muda Waly menunaikan ibadah haji ke tanah suci bersama salah
seorang istri beliau Hajjah rabi’ah. Selama di Makkah beliau tidak menyia-nyiakan
waktu dan kesempatan. Selain menunaikan ibadah haji, beliau juga memanfaatkan
waktu untuk menimba ilmu pengetahuan dari ulama-ulama yang mengajar di Masjidil
Haram antara lain Syech Ali Al-Maliki, pengarang Hasyiah al- Asybah wan-Nadhaair bahkan beliau mendapat ijazah kitab-kitab
hadits dari Syech Ali Al-Maliki.
Selama di Makkah Syech Muda
Waly seangkatan dengan Syech Yasin Al-Fadani, seorang ulama besar keturunan
Padang yang memimpin Lembaga Pendidikan Darul Ulum di Makkah al-Mukarramah.
Pada waktu Syech Muda Waly berada di Madinah pada setiap saat shalat beliau
selalu menziarahi kuburan yang mulia Rasulullah Saw. Pada waktu itu siapa saja
yang menziarahi kuburan Nabi secara dekat, akan dipukul oleh polisi dengan
tongkatnya, tetapi pada saat Syech Muda Waly sedang bermunujat dekat makam
Rasullualah, beliau didekati oleh polisi, ingin memukul beliau, maka Syech Muda
Waly langsung berbicara dengan polisi tersebut dengan bahasa arab yang fasih
sehingga polisi tersebut tertarik dengan beliau dan membiarkan beliau duduk
lama di dekat maqam Nabi SAW.
Di
Madinah Syech Muda Waly berdiskusi dengan para ulama-ulama dari Negeri lain
terutama dari Mesir. Beliau tertarik dengan perkembangan ilmu pengetahuan di
negeri Mesir, sehingga beliau sudah bertekad menuju ke Mesir, tetapi beliau
lupa bahwa pada saat itu beliau membawa istri beliau Hajjah Rabi’ah. Istri
beliau keberatan ditinggalkan untuk pulang ke Indonesia. Akhirnya beliau urung
berangkat ke Mesir. Selama beliau di Makkah ataupun Madinah beliau tak sempat mengambil
ijazah dalam Tahariqat apapun. Hal ini kemungkinan besar karena dua hal : 1.
Karena beliau berada di tanah suci lebih kurang hanya tiga bulan, waktu yang
sangat singkat bagi beliau yang mempunyai cita-cita besar untuk menggali ilmu
dari berbagai ulama. Sehingga habislah waktu beliau hanya untuk menemui dan
berdiskusi dengan para ulama lainnya. 2.
Pada umumnya para pelajar yang datang ke Tanah suci untuk mengamalkan thariqat,
mengambil ijazah, dan berkhalwat harus berada di tanah suci pada bulan Ramadan.
Karena pada bulan Ramadhan halaqah pengajian sepi bahkan libur. Seluruh waktu
dalam bulan Ramadhan dutujukan untuk beribadah. Sedangkan Syech Muda Waly
berada di Tanah suci bukan dalam bulan Ramadhan. Kepulangan Syech Muda Waly
dari tanah suci beliau mendapat sambutan dari murid-murid beliau serta dari
ulama-ulama Minangkabau lainnya seperti Syech ‘Ali Khatib, Syech Sulaiman
Ar-Rasuli, Buya Syech Jamil Jaho. Hal ini dikarenakan, dengan kembalinya Syech
Muda Waly, maka bertambah kokoh dan kuatlah benteng Ahlussunnah wal jamaah di
padang khususnya.
Di kalangan ulama-ulama besar
itu, Syech Muda Waly merupakan yang termuda di antara mereka, sehingga dalam
perdebatan-perdebatan ilmu keagamaan yang populer pada masa itu, Syech Muda
Waly lebih didahulukan oleh ulama dari kelompok kaum tua untuk menghadapi ulama
dari kaum muda. Uniknya kedua belah pihak (Ulama kaum Tua dan Ulama kaum Muda)
menampilkan orang-orang muda dari kedua belah pihak. Sehingga antara ulama tua
dari kedua belah pihak seolah-olah tidak terjadi perbedaan pendapat. Walaupun
Syech Muda Waly telah memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas, namun ada hal
yang belum memuaskan hati beliau yaitu ilmu yang beliau miliki belum mampu
menenangkan batin beliau, akhirnya beliau memutuskan untuk memasuki jalan
tasawuf sebagaimana yang telah ditempuh oleh ulama-ulama sebelumnya. Apabila
Ar-Raniri di Aceh mengambil tariqat Rifa’iyah dan Syech Abdur Rauf yang lebih
dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Teungku Syiah Kuala mengambil
tariqah Syatariyah maka Syech Muda Waly memilih Thariqat Naqsyabandiyah, sebuah
tariqat yang popular di Sumatra Barat kala itu.
Beliau berguru kepada seorang
Ulama besar Tariqah di Sumatra Barat kala itu yaitu Syech Abdul Ghaniy
Al-Kamfary bertempat di Batu Bersurat, Kampar, Bangkinang. Beliau bersuluk di
sana selama 40 hari lamanya. Menurut sebagian kisah menyebutkan bahwa selama
dalam khalwatnya dengan riyadah dan munajat berupa mengamalkan zikir-zikir
sebagaimana atas petunjuk Syech Abdul Ghany beliau sempat mengalami lumpuh
sehingga tidak bisa berjanji untuk mandi dan berwudhuk. Setelah selesai
berkhalwat beliau merasakan kelegaan batin yang luar biasa jauh melebihi
kebahagiannya ketika mendapat ilmu yang bersifat lahiriyah selama ini. Beliau
mendapat ijazah mursyid dari Syech Abdul Ghani sebagai pertanda bahwa beliau
sudah diperbolehkan untuk mengembangkan thariqah Naqsyabandi yang beliau
terima.
Setelah mendapat ijazah
thariqah beliau kembali ke kota Padang dan mendirikan sebuah Pesantren yang
bernama Bustanul Muhaqqiqin di Lubuk Begalung, Padang. Sebuah pesantren yang
terdiri dari beberapa surau dan asrama. Banyak murid yang mengambil ilmu di
pesantren tersebut bahkan juga santri-santri dari Aceh. Tetapi pada saat Jepang
masuk ke Padang, Syech Muda Waly mengambil keputusan pulang ke Aceh karena di
Aceh beliau merasa lebih tenang dan nyaman dalam mengamalkan dan mengembangkan
ilmu yang telah beliau miliki. Sehingga akhirnya Pesantren yang beliau bangun
di Padang lumpuh.
Pulang ke Aceh Setelah Syech
Muda Waly berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara
lahiriahnya seperti tidak teratur, tetapi pada hakikatnya bagi Allah S.W.T.,
perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat
ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pandidikannya
serta pengalaman-pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau
sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan
pendidikan pesantren di tempat beliau dilahirkan, di Blang Poroh Darussalam
Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darusssalam itu belum
ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan pesantren di desa beliau
sendiri. Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan
melalui parahu layar dari Padang ke Aceh di Kecamatan Labuhan Haji. Beliau
disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat, Labuhan
Haji. Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad
membagnun sebuah pasantren.
Pembangunan sebuah pesantren
kali pertama tentu seadanya saja. Maka beliau hanya mendirikan sebuah surau
bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas sebagai tempat tinggal beliau beserta
keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di atas
dipergunakan sebagai tempat ibadah. Lahan tempat mendirikan musholla yang
diberi oleh famili beliau sangat terbatas, sedangkan jamaah sudah mulai
kelihatan berbondong-bondong datang ke surau beliau. Ibu-ibu pada malam selasa
dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam rabu dan harinya pula. Oleh
karena itu, maka beliau ingin memperluas lahan untuk betul-betul memulai sebuah
pesantren yang dapat menampung santri-santri dengan tempat tinggalnya sekalian,
yang dalam istilah Aceh, disebut dengan rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha
untuk membeli tanah sekitar surau yang ada. Beliau membeli tanah untuk
pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran 400×250 m2.
Di atas tanah itulah beliau menampung santri-santri yang berdatangan sedikit
demi sedikit, dari Kecamatan Labuhan Haji, dari kecamatan-kecamatan di Aceh
Selatan, bahkan juga dari berbagai kabupaten di Daerah Istimewa Aceh.
Berkembanglah pesantren itu,
sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada berdatangan, khususnya dari
berbagai propinsi di Pulau Sumatra. Pesantren itu beliau bagi-bagi atas
berbagai nama, sebagai berikut; Pertama: Darul-Muttaqin;di bagian ini terletak
lokasi madrasah, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi dan di
sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah. Khususnya dalam
pengembangan tariqat Naqsyabandiyah dan dijadikan tempat khalwat atau suluk 40
hari selama ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada awal zulhijjah, 10 hari
pada bulan Rabiul awal.
Kedua, Darul ‘Arifin dilokai
ini bertempat tinggal guru-guru yang sebagian besar sudah berumah tangga.
Lokasinya agak berdekatan dengan pantai Laut Samudra Hindia
Ketiga, Darul Muta’allimin.
Ditempat ini bertempat tinggal para santri pilihan diantaranya anak Syech Abdul
Ghani Al-Kampari, guru tasauf Syech Muda Waly.
Keempat, Darus Salikin, di
lokasi ini banyak asrama-asrama tempat tinggal para pelajar penuntut ilmu yang
juga digunakan sebagai tempat berkhalwat.
Kelima, Darul Zahidin, lokasi
yang paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini. Kalau bukan karena
tempat lainnya sudah penuh,maka jarang sekali santri yang mau tinggal di lokasi
ini apalagi tempat ini pada mulanya merupakan tambak udang dan ikan.
Keenam, Darul Ma’la; lokasi
ini merupakan lokasi nomor satu karena tanahnya tinggi dan udaranyapun bagus dan
terletak di pinggir jalan.
Semua lokasi ini dinamakan
oleh syech Muda Waly dengan nama demikian sebagai tafaul kepada Allah semoga
semua santri yang belajar disitu menjadai hamba-hamba Allah yang senantiasa
menuntut ilmu (Al Muta’allimin), hamba-hamba yang zahid, mengutamakan akhirat
dari pada dunia (Az-Zahidin), hamba hamba yang shalih mendapat tempat terhormat
baik disisi Allah maupun dalam pandangan masyarakat. Tak lama kemudian beliau
menikah dengan seorang wanita dari desa Pauh, Labuhan Haji. Kemudian beliau
mendirikan sebuah pesantren lain di Ibukota Kecamatan. Pesantren ini merupakan
sebuah pesantren khusus, pelajarnya juga tidak banyak. Para pelajar di
pesantren ini secara langsung berhadapan dengan kaum orang-orang yang berfaham
wahabi sehingga mendatangkan persaingan pengembangan ilmu pengetahuan agama
melalui perdebatan yang diadakan para pelajar membahas masalah-masalah
khilafiyah dengan dalil-dalilnya menurut pendirian ulama ahlussunnah waljamaah.
Di pesantren inilah diadakan pengajian yang dikuti oleh semua lapisan
masyarakat bahkan juga dikuti oleh kalangan Muhammadiyah dan golongan Salik
Buta sehingga menjadikan majlis ini majlis yang dipenuhi dengan pertanyaan dan
debatan yang ditujukan kepada Syech Muda Waly. Namun semuanya dapat dijawab oleh
Syech Muda Waly dengan jawaban ilmiah yang memuaskan.
PENDIDIKAN PESANTREN
Di pesantren yang beliau
bangun itu Syech Muda Waly mengajarkan kepada masyarakat ilmu agama. Khusus
untuk kaum ibu pada hari malam selasa, senin, atau malam senin. Pada malam senin
kaum ibu ibu mendapat ceramah agama dari guru guru yang telah ditetapkan oleh
beliau. Sedangkan pada selasa pagi sebelum zuhur, setelah pengajian subuh,
semua kaum ibu-ibu yang bermalam di pesantren ikut membangaun pesantren dengan
menimbun sebagian lokasai pesantren yang belum rata dengan batu yang diambil
dari pantai. Satu yang aneh dan luar biasa, batu itu dihempaskan oleh gelombang
air laut ke pantai dan batu-batu itu berwarna putih bersih. Dan ini hanya
terjadi di pantai yang berada di dekat pesantren. Setelah shalat Dhuhur para
ibu-ibu tersebut mendapat ceramah dari guru yang telah ditentukan oleh Syech
Muda Waly yang kemudian dilanjutkan dengan tawajuh dalam tariqat Naqayabandiyah
dan shalat ashar.
Sedangkan waktu untuk kaum
laki-laki adalah pada selasa malam mulai maghrib hingga larut malam. Pada
setiap bulan Ramadhan Syech Muda Waly mengadakan khalwat untuk masyarakat yang
dimulai sejak sepuluh hari sebelum Ramadan sampai harai raya idul fitri. Ada
yang berkhalwat selama 40 hari ada juga yang 30 hari dan ada juga yang 20 hari.
Selain dalam bulan Ramadan, khalwat juga diadakan dalam bulam Rabiul Awal
selama 10 hari. Demikian juga pada bulan Zulhijjah selama 10 hari semenjak
tanggal satu sampai 10 Zulhijjah. Sistem pendidikan pesantren yang diterapkan
oleh syech Muda Waly terbagi kepada dua:
Pertama: sistem qadim, yakni
sitem pendidikan yang telah berjalan bagi para ulama sebelumnya. Sistem ini
menekankan supaya kitab-kitab yang dipelajari mesti khatam. Oleh Karena guru
hanya membaca, menerjemahkan dan menjelaskan sepintas lalu makna yang
terkandung di dalamnya. Menurut beliau sistem ini kita bagikan naik bus pada
malam hari, yang kita lihat hanyalah jalan yang disorot oleh lampu bus saja.
Walaupun perjalanannya panjang dan banyak yang kita lihat tetapi hanyalah
sekedar jalan yang diterangi oleh lampu bus saja, sedangakan di kiri dan
kanannya kita tidak melihatnya.
Kedua: sistem
madrasah. Pada sitem ini para pelajar sudah mengunakan bangku dan papan
tulis. Pada sitem kedua ini tidak ditekankan pada khatam kitab, tetapi harus
banyak diskusi untuk pendalaman. Sebagai contoh, apabila pelajaran fiqh yang
dibaca adalah kitab Tuhfah Al-Muhtaj syarah Minhajul Thalibin, maka yang dibaca
hanya sekitar 10 baris saja, dilanjutkan dengan pembahasan pada matannya, syarahnya
serta Hasyiah-hasyiahnya serta pendalaman berdasarkan dalil-dalilnya baik dari
Al-Qur’an, Al-Hadis ataupun disiplin ilmu lainnya. Ini memang memakan waktu
yang lama, tetapi bila para santri terbiasa dengan sistem ini maka akan
menghasilkan pemahaman yang mendalam dalam memahami kitab kuning.
Rupanya kedua sistem ini
sangat menarik sehingga banyak santri yang berdatangan ke Darussalam yang
berasal dari berbagai daerah.
Syech Muda Waly mengamalkan
ilmunya dengan luar biasa.pukul 6.00 pagi beliau mengajar semua santri muali
dari tingkat yang paling rendah sampai yang paling tinggi.Disini terbuka pintu
bagi semua santri untuk menanyakan segala sesuatu tentang lafaz yang beliau
baca. Pukul 09.00 pagi setelah sarapan dan shalat dhuha beliau mengajar pada
tingkat yang lebih tinggi, yang terdiri dari para dewan guru. Kitab yang dibaca
adalah Tuhfah Al-Muhtaj, Jam’ul Jawami’ dan kitab besar lainnya sampai waktu
ashar.
Sesudah asar beliau juga
menyediakan waktu bagi siapa saja yang berminat mengambil ilmu dari beliau.
Syech Muda Waly sangat disiplin dalam mengajar sehingga dalam kondisi sakitpun
beliau tetap mengajar. Pernah pada satu kali pada saat beliau sakit, para murid
beliau sepakat untuk tidak mendebat beliau, tetapi hanya mendengarkan
penjelasan dari beliau. Rupanya hal ini membuat beliau marah, kenapa para murid
beliau tidak mendebat beliau. Pertanyaan dan debatan dari murid-murid beliau
rupanya menjadi obat yang sangat mujarab bagi beliau. Tetapi beberapa saat
setelah mengajar beliau kembali jatuh sakit. Ketekunan dan kedisiplinan beliau
dalam mendidik muridnya telah membuahkan hasil yang luar biasa, sehingga dari
beliau lahirlah puluhan ulama ulama yang menjadi benteng Ahlussunnah di Aceh
dan sekitarnya. Hampir seluruh pesantren di Aceh sekarang ini mempunyai
pertalian keilmuan dengan beliau dan dari murid-murid beliau lahir pulalah
ulama-ulama terpandang dalam masyarakat.
Dengan adanya perjuangan
beliau perkembangan faham wahabi dan ide pembaruan terhadap ajaran Islam yang
telah menjalar ke sebagian tokoh-tokoh di Aceh dapat ditekan. Beliau sangat
istiqamah dengan faham Ahlussunnah dan mazhab Syafi’i. Di antara murid-murid
beliau adalah
1. Al-Marhum Tgk. H. Abdullah
Hanafiah Tanoh Mirah, pimpinan Dayah Darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireun
2. Al-Marhum Tgk. Abdul Aziz
bin Shaleh, pimpinan pesantren MUDI MESRA (Ma’hadal Ulum Diniyah Islamiyah)
Samalanga, Bireun.
3. Al-Marhum Tgk. Muhammad
Amin Arbiy. Tanjongan, Samalanga, Bireun.
4. Tgk. H. Muhammad Amin Blang
Bladeh (Abu Tumin) pimpinan pesantren Al-Madinatut Diniyah Babussalam, Blang
Bladeh Bireun.
5. Teungku H. Daud Zamzamy.
Aceh Besar.
6. Al Marhum Tgk. Syech
Syihabuddin Syah (Abu Keumala), pimpinan pesantren Safinatussalamah, Medan.
7. Teungku Adnan Mahmud
pendiri pesantren Ashabul Yamin Bakongan Aceh Selatan.
8. Al-Marhum Tgk Syech
Marhaban Krueng Kalee (putra Syech Hasan Krueng Kale) mantan menteri muda era
Sukarno.
9. Al-Marhum Tgk.Muhammad Isa
Peudada
10. Al-Marhum Tgk. Ja’far
Shiddiq Kuta Cane
11. Al-Marhum Tgk. Abu Bakar
sabil, Meulaboh Aceh Barat
12. Al-Marhum Tgk. Usman Fauzi,
Cot Iri, Aceh Besar.
13. Syech. Prof. Muhibbuddin
Waly (putra beliau sendiri yang paling tua)
14. Al-Marhum Syech Jailani
15. Al-Marhum Syech Labai Sati,
Padang Panjang
16. Al-Marhum Tgk. Qamaruddin,
Teunom. Aceh Barat
17. Tgk. Syech Jamaluddin
Teupin Punti, Lhok Sukon, Aceh Utara
18. Tgk. Syech Ahmad Blang
Nibong Aceh Utara
19. Tgk. Syech Abbas Parembeu,
Aceh Barat
20. Tgk. Syech Muhahammad Daud,
Gayo
21. Tgk. Syech Ahmad, Lam Lawi,
Aceh Pidie
22. Tgk. Muhammad Daud Zamzami,
Aceh Basar.
23. Tuanku Idrus, Batu Basurek,
Bangkinang
24. Al-Marhum Tgk. Syech Amin Umar,
Panton Labu
25. Syech Nawawi Harahap,
Tapanuli
26. Al-Marhum Tgk Syech Usman
Basyah, Langsa
27. Tgk. Syech Karimuddin, Alue
Bilie, Aceh Utara
28. Tgk. Syech Basyah Kamal
Lhoung, Aceh Barat.
Dan lain-lain banyak lagi. Selain meninggalkan murid, beliau
juga meninggalkan beberapa tulisan diantaranya :
1. Al-Fatawa, Sebuah kitab
dalam bahasa Indonesia dengan tulisan Arab, berisi kumpulan fatwa beliau
mengenai berbagai macam permasalahan agama;
2. Tanwirul Anwar, berisi
masalah masalah aqidah;
3. Risalah adab zikir Ismuz
Zat;
4. Permata Intan, sebuah
risalah singkat berbentuk soal-jawab mengenai masalah i’tidaq;
5. Intan Permata, risalah
singkat berisi masalah tauhid Dalam risalah yang terakhir (Intan Permata)
beliau memberi keputusan tentang perdebatan Syech Ahmad Khatib dengan Syech Sa’ad
Mungka, beliau menyebutkan: “Ketahuilah hai segala ummat Ahlissunnah
waljamah,bahwasanya karangan yang mulia Syech Ahmad al-Khatib yang bernama:
Izhar Zighlil-Kazibin, tentang membantah Rabithah dan Thariqat Naqsyabandiyah
itu adalah silap dan salah paham dari Syech yang mulia itu, karena beliau itu
telah ditolak oleh yang mulia Syech Sa’ad Mungka Payakumbuh (Sumatra Tengah)
dengan kitabnya Irghamu Unufil Muta`annitin. Kemudian kitab ini dijawab pula
oleh yang mulia Syech Ahmad al khatib dengan kitabnya as-Saiful Battar. Kitab
ini pun ditolak oleh yang mulia Syech As’ad Mungka dengan kitabnya yang bernama
Tanbihul ‘Awam. Pada akhirnya patahlah kalam Tuan Syech Ahmad al-Khatib. Karena
itu maka hamba yang faqir ini, Syech Muhammad Waly al-Khalidy sebabnya
mengambil Thariqat Naqsyabandiyah adalah setelah muthala’ah pada
karangan-karangan Syech Ahmad Khathib dan karangan karangan Syech Sa’ad Mungka
dimana antara karangan kedua-dua orang ulama itu sifatnya soal jawab dan
debat-berdebat. Perlu diketahui bahwa Tuan Syech Ahmad Khatib itu murid Sayyid
syech Bakrie bin Sayyid Muhammad Syatha. Sedangkan Tuan Syech As’ad Mungkar
murid Mufti Az-Zawawy, gurunya Syech Usman Betawi yang masyhur itu. Maka
muncullah kebenaran di tangan Tuan Syech Sa’ad Mungka apalagi saya telah
melihat pula kitab as-Saiful Maslul karangan ulama Madinah selaku menolak kitab
Izhar Zighlil Kazibin. Oleh sebab itu bagi murid-muridku yang melihat karangan
Syech Ahmad Khatib itu janganlah terkejut, karena karangan beliau itu ibarat
harimau yang telah dipancung kepalanya.”
Syech Muda Waly bukan hanya
berperan dalam menyebarkan ilmu agama saja, tapi beliau memiliki andil yang
besar dalam mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Republik Indonesia. Dalam
mempertahankan proklamasi 17 agustus 1945 para ulama Aceh tampil ke depan
dengan mengeluarkan fatwa jihad fi sabilillah dan mendirikan barisan-barisan
perjuangan. Pada tanggal 18 Zulqa’idah 1364 Teungku Syech Hasan Krueng Kalee
mengeluarkan fatwa dengan menyatakan bahwa perjuangan mempertahankan Republik
Indonesia dan berperang menentang musuh-musuh Allah adalah suatu kewajiban dan
apabila mati dalam peperangan itu akan mendapat pahala syahid.
Di samping itu juga
diterangkan pula hendaklah ummat Islam mengorbankan jiwa dan harta untuk
menolong agama Allah dan menolong negara yang sah. Fatwa itu disebarkan luas ke
seluruh Aceh melalui pemuda-pemuda Aceh yang tergabung dalam Barisan Pemuda
Indonesia yang kemudian menjadi Pemuda Republik Indonesia. Berdasarkan itu
Syech Muda Waly di Labuhan Haji memperkuat fatwa tersebut melalui
pengajian-pengajian dan ceramah-ceramah umum. Bahkan beliau menjabat sebagai
pimpinan tertinggi dalam barisan Hizbullah, meskipun dalam pelaksanaannya
banyak diserahkan kepada keponakannya yang juga merupakan seorang ulama muda yang
kemudian menjadi menantu beliau.
Di samping itu Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang dipimpin oleh Nyak Diwan telah membawa satu
barisan perjuanagan dari Sumatra barat yang disebut Lasymi (Laskar Muslimin
Indonesia). Antara kedua laskar ini saling mengisi demi memperjuangkan
Ahlussunnah dan mempertahankan kedaulatan Negara dari tangan penjajah.
Peristiwa berdarah di Aceh Dalam mempertahankan keutuhan negara Indonesia,
beliau juga memiliki peran yang sangat penting.
Pada tanggal 13 Muharram 1373
/21 september 1953 meletuslah peristwa berdarah di Aceh yaitu peristiwa DI/TII
yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Bereueh, mantan Gubernur Militer Aceh
Langkat dan Tanah Karo dan mantan Gubernur Aceh dan merupakan salah seorang
pemimpin utama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Beliau memang tidak
bergabung dalam PUSA karena sebagian besar ulama ynag bergabung dalam PUSA
telah terpengaruh dengan ide pembaruan dalam Islam dari Minangkabau. Dalam hal
ini para ulama besar di Aceh yang terdiri dari Kaum Tua antara lain Syech Muda
Waly, Syech Hasan Krueng Kalee, Teungku Abdul Salam Meuraksa, Teungku Saleh
Mesigit Raya dan ulama lainnya tidak mendukung gerakan ini, karena mereka
mengetahui bahwa latar belakang kejadian ini bukanlah hal-hal yang dikaitkan
dengan agama tetapi hanyalah hal-hal yang dikaitkan dengan dunia semata. Oleh
karena itu para ulama tersebut mengeluarkan fatwa mengutuk pemberontakan
tersebut atas nama para ulama-ulama tersebut. Akan tetapi karena semua ulama
tersebut berada dalam PERTI maka penonjolannya lebih terlihat atas nama PERTI.
Teungku Syech Muda Waly pada tanggal 18 November 1959 dalam suatu rapat umum di
Labuhan Haji mengharamkan pemberontakan tersebut, dan beliau menyatakan siap
memberi bantuan menurut kesanggupan beliau. Para ulama-ulama tersebut sangat
menyayangkan kenapa faktor-faktor pemberontakan tersebut tidak dimusyawarahkan
terlebih dahulu dengan para ulama-ulama besar di Aceh. Sehingga segala
permasalahan dapat diselesaikan tanpa harus melalui peristiwa berdarah.
Karena jasa beliau itu,
beliau pernah diundang oleh Presiden Sukarno ke istana Bogor pada tahun
1957untuk menghadiri Konferensi Ulama Indonesia untuk memutuskan kedudukan
Presiden Sukarno menurut Islam. Dalam konferensi tersebut beliau para ulama
dari seluruh Indonesia sepakat menyatakan bahwa presiden Sukarno itu presiden
yang sah dengan prediket Wali al Amri al-Dharury bi al-Syaukah.
Setelah berjuang demi
tegaknya agama ini, akhirnya Syech Muda Waly kembali ke hadapan Allah pada
tanggal 11 syawal 1381/20 maret 1961 tepat pukul 15.30 WIB hari selasa. Jenazah
beliau dishalatkan oleh ulama dan murid-murid beliau serta masyarakat yang
terjangkau kehadirannya ke Dayah Labuhan Haji, karena pada zaman itu kendaraan
umum masih sangat minim di Aceh selatan. Beliau dimakamkan dalam komplek Dayah
Labuhan Haji yang beliau pimpin.
Selanjutnya kepemimpinan
Pesantren tersebut dilanjutkan oleh putra-putra beliau secara bergantian antara
lain Syech Muhibbuddin Waly, Syech Jamaluddin Waly, Syech Mawardi Waly, Syech
Nasir Waly, Syech Ruslan Waly dan putra-putra beliau lainnya. Hal ini karena
hampir semua putra beliau menjadi ulama-ulama terkemuka.
Beliau bukan hanya berhasil
dalam mendidik murid-muridnya tetapi juga berhasil mendidik putra putranya
menjadi ulama-ulama yang gigih mempertahankan faham Ahlussunnah wal jamaah.
Keberhasilan beliau dapat terlihat dengan jelas, dimana sekarang ini hampir
semua pesantren tradisional di Aceh mempunyai silsilah keilmuan dengan beliau.
Coba kita lihat beberapa
pesantren diAceh saat ini antara lain ;
1. Pesantren LPI MUDI MESRA,
Samalanga dipimpin oleh Teungku H. Hasanoel Basry (Abu Mudi) murid dari Syech
Abdul Aziz (murid Syech Muda Waly, pimpinan MUDI MESRA sebelumnya);
2. Pesantren Al Madinatud
Diniyah Babusslam Blang Bladeh, Bireun dipimpin oleh Syech H. Muhammad Amin
Blang Bladeh (murid Syech Muda Waly);
3. Pesantren Malikussaleh
Panton Labu Aceh utara, dipimpin oleh Syech H. Ibrahim Bardan (murid Syekh
Abdul Aziz, Samalanga);
4. Pesantren Darul Huda Lhueng
Angen, Lhok Nibong, Aceh Utara, dipimpin oleh Syech Abu Daud (murid Syech Abdul
Aziz, Samalanga);
5. Pesantren Darul Munawwarah,
Kuta Krueng, Bandar Dua. Pidie Jaya, dipimpin oleh Tgk. H. Usman Kuta Krueng
(murid Syech Abdul Aziz, Samalanga);
6. Pesantren Darul Ulum, Tanoh
Mirah Bireun, dipimpin oleh Tgk. Muhammad Wali, putra Syech Abdullah Hanafiah,
(murid Syech Muda waly dan pimpinan pesantren tersebut sebelumnya);
7. Pesantren Raudhatul Ma’arif
Cot Trueng Aceh Utara, dipimpin oleh Tgk. H. Muhammad Amin (murid Syech Abdul
Aziz, Samalanga);
8. Pesantren Darul Huda, Paloh
Gadeng Aceh Utara dipimpin oleh Syech Mustafa Ahmad (Abu Mustafa Puteh, murid
Syech Muhammad Amin Blang Bladeh);
9. Pesantren Ashhabul Yamin,
Bakongan, Aceh Selatan, dipimpin oleh Syech Marhaban Adnan (murid Syech Abdul
Aziz, Samalanga, putra Syech Adnan Mahmud Bakongan);
10. Pesantren Ruhul Fata,
Seulimum, Aceh Besar, dipimpin oleh Tgk. H. Mukhtar Luthfy (murid Syech Abdul
Aziz, Samalanga);
11. Pesantren Serambi Makkah,
Meulaboh, Aceh Barat dipimpin oleh Syech Muhammad Nasir L.c (murid Syech Abdul
Aziz, Samalanga putra Abuya Syech Muda Waly);
12. Bahrul Ulum Diniyah
Islamiyah (BUDI) Lamno, Aceh Jaya dipimpin oleh Tgk. H. Asnawi Ramli,
sebelumnya dipimpin oleh Tgk. Syech Ibrahim Lamno (murid Syech Abdul Aziz
Samalanga);
13. Yayasan Dayah Ulee Titi,
Ulee Titi, Aceh Besar, dipimpin oleh Tgk. Syech Athaillah (murid Syech Ibrahim
Lamno).
Kesemua Pesantren tersebut
dan beberapa pesantren lainnya mempunyai pertalian keilmuan dengan Syech Muda
Waly.
Demikianlah manaqib singkat
Syech Muda Waly yang lebih populer dalam masyarakat Aceh dengan sebutan Abuya
Muda Waly, seorang ulama yang sangat berperan dalam mempertahankan Faham
Ahlussunnah dan mazhab Syafi’i di bumi Aceh. Seorang Ulama besar yang bisa
dikatakan sebagai Mujaddid untuk Aceh dan sekitarnya. Semoga Allah menempatkan
beliau di sisinya yang tinggi. Dan semoga Allah melahirkan Syech Muda Waly
lainnya untuk Aceh ini khususnya dan untuk ummat Islam lainnya.
Ditulis oleh Tgk. Mursyidi
‘Ar Ali Santri LPI MUDI MESRA Samalanga.
Maraji’:
1. Prof.Muhibbuddin Waly, Ayah
Kami Haji Muhammad Waly Al Khalidy;
2. KH. Sirajuddin Abbas,
Keagungan Mazhab Syafii
3. ………., Ulama Syafi’i dan
Kitabnya dari abad ke abad;
4. Tgk. Syech Syihabuddin
Keumala, Wazifah Abuya;
5. Shabri A, dkk. Biografi
Ulama-Ulama Aceh Abad xx jilid I
Biografi Abu Ibrahim Woyla
Abu Ibrahim Woyla
adalah seorang ulama pengembara. Ulama ini dalam masyarakat Aceh lebih dikenal
dengan Abu Ibrahim Keramat. Belum pernah terjadi dalam sejarah di Woyla (Aceh
Barat) bila seseorang meninggal ribuan orang datang melayat (takziah) kecuali
pada waktu wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Selama hampir 30 hari
meninggalnya Abu Ibrahim Woyla masyarakat Aceh berduyun-duyun datang
melayat ke kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla Induk, Aceh Barat sebagai tempat
peristirahatan terakhir Abu Ibrahim Woyla. Selama 30 hari itu ribuan orang
setiap hari tak kunjung henti datang menyampaikan duka cita mendalam atas
wafatnya Abu Ibrahim Woyla, sehingga pihak keluarga menyediakan 400 kotak
air aqua gelas dan tiga ekor lembu setiap hari dari sumbangan mantan Gubernur
Aceh Irwandi Yusuf untuk menjamu tamu yang datang silih berganti ke tempat
wafatnya Abu Ibrahim Woyla. Begitulah pengaruh ke-ulama-an Abu
Ibrahim Woyla dalam pandangan masyarakat Aceh, terutama di wilayah Aceh Barat
dan Aceh Selatan.
Abu
Ibrahim Woyla yang bernama lengkap Teungku (Ustadz/Kiyai) Ibrahim bin Teungku
Sulaiman bin Teungku Husen dilahirkan di kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla,
Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1919 M. Menurut riwayat, pendidikan
formal Abu Ibrahim Woyla hanya sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR),
selebihnya menempuh pendidikan Dayah (Pesantren Salafi/Tradisional) selama
hampir 25 tahun. sehingga dalam sejarah masa hidupnya Abu Ibrahim Woyla
pernah belajar 12 tahun pada Syeikh Mahmud seorang ulama asal Lhok Nga Aceh
Besar yang kemudian mendirikan Dayah Bustanul Huda di Blang Pidie Aceh Barat.
Di antara murid Syeikh Mahmud ini selain Abu Ibrahim Woyla juga Syeikh
Muda Waly Al-Khalidy yang kemudian sebagai seorang ulama tareqat naqsyabandiyah
tersohor di Aceh.
Menurut keterangan, Syeikh Muda Waly hanya sempat belajar pada Syeikh Mahmud
sekitar 4 tahun, kemudian pindah ke Aceh Besar dan belajar pada Abu Haji Hasan
Krueng Kale selama 2 tahun. setelah itu Syeikh Muda Waly pindah ke Padang dan
belajar pada Syeikh Jamil Jaho Padang Panjang. Dua tahun di Padang Syeikh Muda
Waly melanjutkan pendidikan ke Mekkah atas kiriman Syeikh Jamil Jaho, setelah 2
tahun di Mekkah kemudian Syeikh Muda Waly kembali ke Blang Pidie dan
melanjutkan mendirikan Pesantren Tradisional di Labuhan Haji Aceh Selatan. Saat
itulah Abu Ibrahim Woyla sudah mengetahui bahwa Syeikh Muda Waly telah
kembali dari Mekkah dan mendirikan Pesantren, maka Abu Ibrahim Woyla
kembali belajar pada Syeikh Muda Waly untuk memperdalam ilmu tareqat naqsyabandiyah.
Namun sebelum itu Abu Ibrahim Woyla pernah belajar pada Abu Calang (Syeikh
Muhammad Arsyad) dan Teungku Bilyatin (Suak) bersama rekan seangkatannya yaitu
(alm) Abu Adnan Bakongan.
Setelah lebih kurang 2 tahun memperdalam ilmu tareqat pada Syeikh Muda Waly, Abu
Ibrahim Woyla kembali ke kampung halamannya, tapi tak lama setelah itu Abu
Ibrahim Woyla mulai mengembara yang dimana keluarga sendiri tidak mengetahui
kemana Abu Ibrahim Woyla pergi mengembara. Menurut riwayat dari Teungku
Nasruddin (menantu Abu Ibrahim Woyla) semasa hidupnya Abu Ibrahim
Woyla pernah menghilang dari keluarga selama tiga kali, Pertama, Abu
Ibrahim Woyla menghilangkan diri selama 2 bulan,Kedua, Abu Ibrahim
Woyla menghilang selama 2 tahun dan Ketiga, Abu Ibrahim Woyla
menghilangkan diri selama 4 tahun yang tidak diketahui kemana perginya.
Dalam kali terakhir inilah Abu Ibrahim Woyla kembali pada keluarganya di
Pasi Aceh, pihak keluarga tidak habis pikir pada perubahan yang terjadi
pada Abu Ibrahim Woyla. Rambut dan jenggotnya sudah demikian panjang tak
ter-urus, pakaiannya sudah compang camping dan kukunya panjang seadanya.
mungkin bisa kita bayangkan seseorang yang menghilang selama 4 tahun dan tak
sempat untuk mengurus dirinya. Begitulah kondisi Abu Ibrahim Woyla ketika
kembali ke tengah keluarganya setelah 4 tahun menghilang, maka wajar bila
secara duniawiyah dalam kondisi seperti itu sebagian masyarakat Woyla
menganggap Abu Ibrahim Woyla sudah tidak waras lagi.
Abu Ibrahim Woyla oleh banyak orang dikenal sebagai ulama agar pendiam dan ini
sudah menjadi bawaannya sewaktu kecil hingga masa tua. Beliau hanya
berkomunikasi bila ada hal yang perlu untuk disampaikan sehingga banyak orang
yang tidak berani bertanya terhadap hal-hal yang terkesan aneh bila
dikerjakan Abu Ibrahim Woyla. Sikap Abu Ibrahim Woyla seperti itu
sangat dirasakan oleh keluarganya, namun karena mereka sudah tau sifat dan
pembawaannya demikian, keluarga hanya bisa pasrah terhadap pilihan jalan hidup
yang ditempuh Abu Ibrahim Woyla yang terkadang sikap dan tindakannya tidak
masuk akal. Tapi begitulah orang mengenal sosok Abu Ibrahim Woyla.
Abu Ibrahim Woyla memiliki dua orang isteri, isteri pertama bernama Rukiah,
dari hasil pernikahan ini Abu Ibrahim Woyla dikaruniai 3 orang anak,
seorang laki-laki dan 2 perempuan. yang laki-laki bernama Zulkifli dan yang
perempuan bernama Salmiah dan Hayatun Nufus. Sementara pada isteri keduanya
yang beliau dinaki di Peulantee, Aceh Barat, dua tahun sebelum beliau meninggal
tidak dikaruniai anak.
Menurut cerita tatkala isteri pertamanya hamil 6 bulan untuk anak pertama yang
dikandung Ummi Rukian, kondisi Abu Ibrahim Woyla saat itu seperti tidak
stabil, sehingga beliau mengatakan pada isterinya "Saya mau belah perut
kamu untuk melihat anak kita", kata Abu Ibrahim Woyla pada isterinya yang
pada saat itu membuat keluarganya tak habis pikir terhadap apa yang
diucapkan Abu Ibrahim Woyla pada isterinya itu. Karena perkataan seperti
itu dianggap perkataan yang sudah diluar akal sehat, maka keluarga dengan cemas
menggatakan kita tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Abu Ibrahim Woyla
yang meminta untuk membelah perut isterinya yang sedang mengandung 6 bulan.
Meskipun begitu, perkataan yang pernah diucapkan itu tak pernah dilakukannya.
Pada tahun 1954 sebenarnya tahun yang sangat membahagiakan bagi pasangan
suami-isteri karena pada tahun itu lahir anak pertama dari pasangan Abu
Ibrahim Woyla dan Ummi Rukiah, akan tetapi kehadiran seorang pertama itu
bagi Abu Ibrahim Woyla bukanlah sesuatu yang istimewa. Abu Ibrahim
Woyla saat itu hanya pulang sebentar menjenguk anaknya yang baru lahir,
kemudian beliau pergi kembali mengembara entah kemana. Ketika anak pertamanya
yang diberi nama Salmiah sudah besar, menurut cerita Teungku Nasruddin barulah
kondisi Abu Ibrahim Woyla kembali normal hidup bersama keluarganya. Dan
saat itu Abu Ibrahim Woyla sempat membuka lahan perkebunan di Suwak Trieng
untuk menjadi harta yang ditinggalkan untuk keluarganya di kemudian hari.
Pada saat itu kehidupan Abu Ibrahim Woyla bersama keluarganya sudah sangat
harmonis hingga lahir anak kedua, Hayatun Nufus dan anaknya yang ketiga
Zulkifli. Semua keluarganya sangat bersyukur karena Abu Ibrahim Woyla
telah tinggal bersama keluarganya. Namun apa mau dikata, tak lama setelah lahir
anaknya yang ketiga Abu Ibrahim Woyla kembali meninggalkan keluarganya dan
entah kemana. Sehingga Ummi Rukiah tidak tahan lagi dengan
ketidakpedulian Abu Ibrahim Woyla terhadap nafkah keluarganya, isterinya
minta untuk pulang ke Blang Pidie daerah asalnya.
Alasan isterinya untuk pulang ke Blang Pidie memang tepat, karena
menurutnya Abu Ibrahim Woyla tidak lagi peduli kepada keluarga, beliau
hanya asyik berzikit sendiri dan pergi kemana beliau suka. akan tetapi,
keinginan Ummii Rukian untuk kembali ke Blang Pidie tidak terwujud karena Allah
mempersatukan Abu Ibrahim Woyla dan isterinya sampai akhir hayatnya.
Bila kita dengar kisah dan cerita tentang Abu Ibrahim Woyla semasa
hidupnya tak ubah seperti kita membaca kisah para sufi dan ahli tashawwuf.
Banyak sekali tindakan yang dikerjakan Abu Ibrahim Woyla semasa hidupnya
yang terkadang tidak dapat diterima secara rasional, karena kejadian yang
diperankannya termasuk di luar jangkauan akal pikiran manusia. Untuk mengenal
prilaku Abu Ibrahim Woyla haruslah menggunakan pikiran alam lain sehingga
menemukan jawaban apa yang dilakukan Abu Ibrahim Woyla itu benar adanya.
Itulah keajaiban-keajaiban yang melekat pada sosook Abu Ibrahim Woyla,
yang oleh sebagian ulama di Aceh menilai bahwa Abu Ibrahim Woyla adalah
seorang ulama yang sudah mencapai tingkat Waliyullah (Wali Allah). hal itu
diakui Teungku Nasruddin, memang banyak sekali laporan masyarakat yang diterima
keluarga menceritakan seputar keajaiban kehidupan Abu Ibrahim Woyla. Hal
ini terbukti semasa hidupnya Abu Ibrahim Woyla selalu mendatangi tempat-tempat
dimana umat selalu dalam kesusahan, kegelisahan dan musibah beliau selalu ada
di tengah-tengah masyarakat itu. Namun orang sulit memahami maksud dan
tujuan Abu Ibrahim Woyla untuk apa beliau mendatangi tempat-tempat seperti
itu, karena kedatangannya tidak membawa pesan atau amanah apapun bagi
masyarakat yang didatanginya. Abu Ibrahim Woyla hanya datang berdoa di
tempat-tempat yang ia datangi, tutur Teungku Nasruddin.
Dalam hal ini Ustadz (Teungku disingkat Tgk) Muhammad Kurdi Syam ( seorang
warga Kayee Unoe, Calang yang sangat mengenal Abu Ibrahim Woyla
menceritakan bahwa Abu Ibrahim Woyla kebetulan sedang berjalan kaki,
beliau terkadang masuk ke sebuah rumah tertentu milik masyarakat yang
dilawatinya, ia mengelilingi rumah tersebut sampai beberapa kali kemudian
berhenti pas di halaman rumah itu dan menghadapkan dirinya ke arah rumah
tersebut dengan berzikir LA ILAHA ILLALLAH yang tak berhenti keluar dari
mulutnya, setelah itu Abu Ibrahim Woyla pergi meninggalkan rumah itu.
TIdak ada yang tahu makna yang terkandung di balik semua itu, apakah agar
penghuni rumah itu terhindar dari bahaya yang akan menimpa mereka atau
mendoakan penghuni rumah itu agar dirahmati Allah ? Wallahu A'lam.
Menurut Tgk Nasruddin , dilihat dari kehidupannya, Abu Ibrahim Woyla
sepertinya tidak lagi membutuhkan hal-hal yang bersifat duniawi, ia
mencontohkan, kalau misalnya Abu Ibrahim Woyla memiliki uang, uang
tersebut bisa habis dalam sekejap mata dibagikan kepada orang yang membutuhkan
dan biasanya Abu Ibrahim Woyla membagikan uang itu kepada anak-anak dalam
jumlah yang tidak diperhitungkan (sama seperti amalan Rasulullah). Begitulah
kehidupan Abu Ibrahim Woyla dalam kehidupan sehari-hari.
Keajaiban lain yang membuat masyarakat tak habis pikir dan bertanya-tanya
adalah soal kecepatan beliau melakukan perjalanan kaki yang ternyata lebih
cepat dari kendaraan bermesin. Memang kebiasaan Abu Ibrahim Woyla kalau
pergi kemana-mana selalu berjalan kaki tanpa menggunakan sendal. Bagi orang
yang belum mengenalnya bisa beranggapan bahwa Abu Ibrahim Woyla sosok yang
tidak normal. Karena disamping penampilannya yang tidak rapi, mulutnya terus
komat kamit mengucapkan zikir sambil jalan. Tgk Muhammad Kurdi Syam
menceritakan suatu ketika Abu Ibrahim Woyla sedang jalan kaki di Teunom
menuju Meulaboh (perjalanan yang memakan waktu 1 atau 2 jam dengan kendaraan
bermotor), yang anehnya Abu Ibrahim Woyla ternyata duluan sampai di
Meulaboh, padahal yang punya mobil tadi tahu bahwa tidak ada kendaraan lain
yang mendahului mobilnya, kejadian ini bukan sekali dua kali terjadi, malah
bagi masyarakat di pantai barat yang sudah mengganggap itulah kelebihan sosok
ulama keramat Abu Ibrahim Woyla yang luar biasa tidak sanggup dinalar oleh
pikiran orang biasa.
karena tak heran kalau Abu Ibrahim Woyla berada seperti di pasar, misalnya
semua pedagang di pasar itu berharap agar Abu Ibrahim Woyla dapat singgah
di toko mereka, karena mereka ingin mendapatkan berkah Allah melalui
perantaran Abu Ibrahim Woyla. Namun tidak segampang itu karena Abu
Ibrahim Woyla punya pilihan sendiri untuk mampir di suatu tempat. Seperti yang
diceritakan Tgk Muhammad Kurdi Syam, suatu waktu Abu Ibrahim Woyla sedang
berada di Lamno Aceh Jaya lalu bertemu dengan seseorang yang bernama Samsul
Bahri yang sedang bekerja di Abah Awe, saat itu kebetulan Abu Ibrahim
Woyla membawa dua potong lemang. Ketika mampir di situ Abu Ibrahim Woyla
meminta sedikit air, setelah air itu diberikan Samsul lalu Abu Ibrahim
Woyla memberikan dua potong lemang tersebut kepada Samsul tapi Samsul
menolaknya karena menurut Samsul bahwa lemang tersebut adalah sedekah orang
yang diberikan kepada Abu Ibrahim Woyla. karena tidak mau diterima Samsul,
lemang itu dibuang Abu Ibrahim Woyla yang tak jauh dari tempat duduknya,
spontan saja Samsul tercengang dengan tindakan Abu yang membuang lemang begitu
saja, karena merasa bersalah lalu Samsul ingin mengambil lemang yang sudah
dibuang tersebut, namun sayang, ketika mau diambil lemang itu hilang secara
tiba-tiba.
Dalam kejadian lain, Tgk Nasruddin menceritakan suatu ketika (sebelum Tgk Nasruddin
menjadi menantu Abu Ibrahim Woyla), tiba-tiba shubuh pagi Abu Ibrahim
Woyla datang ke almamaternya ke Pesantren Syeikh Mahmud, kaki Abu Ibrahim
Woyla kelihatan sedikit pincang sebelah kalau beliau berjalan.
Kedatangan Abu Ibrahim Woyla disambut Tgk Nasruddin dan teman-teman
sepengajian lainnya. Lalu Abu meminta sedikit nasi untuk sarapan pagi,
"nasinya ada, tapi tidak ada lauk pauk apa-apa Abu" kata Tgk
Nasruddin, "Nggak apa-apa, saya makan pakai telur saja, coba lihat dulu di
dapur mungkin masih ada satu telur tersisi" jawab Abu Ibrahim Woyla,
lalu Tgk Nasruddin menuju ke dapur, ternyata di tempat yang biasa ia simpan
telur terdapat satu butir telur, padahal seingatnya tidak ada sisa telur lagi
karena sudah habis dimakan.
Lantas sambil menyuguhkan Nasi kepada Abu Ibrahim Woyla, Tgk Nasruddin
bertanya, "Kenapa dengan kaki Abu ?" Abu menjawab "saya baru
pulang dari bukit Qaf (Mekkah), disana banyak sekali tokonya tapi tidak ada
penjualnya. Namun kalau kita ingin membeli sesuatu kita harus membayar di mesin,
kalau tidak kita bayar kita akan ditangkap polisi", Abu meneruskan
"setelah saya belanja di toko-toko itu lalu saya naik kereta api dan
sangat cepat larinya, karena saya takut duduk dalam kereta api itu , maka saya
lompat dan terjatuh hingga membuat kaki saya sedikit terkilir, makanya saya
agak pincang, tapi sebentar lagi juga sembuh"
Kejadian serupa juga dialami oleh keluarga dekat Abu Ibrahim Woyla
sendiri, suatu hari Abu mengunjungi salah seorang saudaranya untuk meminta
sedikit nasi dengan lauk sambel udang belimbing, lalu tuan rumah itu mengatakan
pada isterinya untuk menyiapkan nasi dengan sambel udang belimbing
untuk Abu Ibrahim Woyla, tapi isterinya memberi tahu bahwa pohon
belimbingnya tidak lagi berbuah, "baru kemarin sore saya lihat pohon belimbingnya
lagi tidak ada buahnya" kata sang isteri pada suuaminya. Tapi suaminya
terus mendesak isterinya "coba kamu lihat dulu, kadang ada barang dua tiga
buah sudah cukup untuk makan Abu" katanya.lalu isterinya pergi ke pohon
belakang rumah, ternyata belimbing itu memang didapatkan tak lebih dari tiga
buah di pohon yang kemarin sore dilihatnya.
Demikian pula ketika hendak melangsungkan pernikahan anak pertama Abu
Ibrahim Woyla, yaitu Salmiah, msyarakat di kampung melihat sepertinya Abu
Ibrahim Woyla tidak pedulu terhadap acara pernikahan anaknya. padahal acara
pernikahan itu akan berlangsung beberapa hari lagi, tapi Abu Ibrahim Woyla
tidak menyiapkan apa-apa untuk menghadapi acara pernikahan anaknya itu, bahkan
uang pun tidak beliau kasih pada keluarga untuk kebutuhan acara tersebut. Namun
ajaibnya pada hari "H" (hari pernikahan berlangsung) ternyata acara
pernikahan anaknya berlangsung lebih besar dari pesta-pesta pernikahan orang
lain yang jauh-jauh hari telah mempersiapkan segala sesuatunya.
Begitulah sebagian
dari perjalanan riwayat hidup seorang ulama dan aulia Abu Ibrahim Woyla
yang sulit dicari penggantinya di Aceh sekarang ini. Beliau berpulang ke
Rahmatullah pada hari sabtu pukul 16.00 WIB tanggal 18 Juli 2009 di rumah
anaknya di Pasi Aceh Kecamatan Woyla Induk, Kabupaten Aceh Barat dalam usia 90
tahun. Peneliti LKAS Banda Aceh pernah berziarah ke makan beliau pada bulan
April 2010, melihat makan yang dijaga oleh anak tertuanya, banyak sekali
diziarahi oleh masyarakat. Namun pihak keluarga sangat hati-hati dan berpesan
pada penziarah agar makan Abu Ibrahim Woyla tidak dijadikan tempat
pemujaan (yang membawaki kepada syirik).
Diambil dari : Ensiklopedi Ulama Besar Aceh
Abu
Krueng Kalee
Abu Krueng Kalee nyaris membuat Aceh menjadi sebuah Negara yang
berdiri sendiri.Namun usulan itu branch diterima Daud Beureueh yang tertipu
janji palsu Sukarno.
Sapaan akrab Abu Krueng Kalee
Jika bertandang s Gampong Siem, Aceh Besar, mungkin branch asing lagi bagi
masyarakat di sana.LLC H Muhammad Hasan Krueng Kalee itulah imitation aslinya
yang Kini telah bersemat MEGAH ie sebuah shack pesantren: Darul Ihsan LLC Hasan
Krueng Kalee. Pesantren
itu juga dikenal dengan sebutan "Dayah Manyang."
Abu Krueng Kalee
Abu Krueng Kalee
Abu Krueng Kalee merupakan
Salah satu Ulama kharismatik Aceh. Ia
lahir pada 13 Rajab 1304 H/18 April 1886 M ie Gampong Langgoe Meunasah Keutumbu
Mukim Sangeue Kabupaten Pidie.Abu, begitu ia disapa selain piawai Dalam
mengajarkan ilmu Agama Pendidikan juga menjadi sosok Ulama yang begitu peduli
dengan keadaan politik sosial Aceh pada masa masa kemerdekaan Indonesia tahun
1945.
Melihat sepak terjang Abu
sejarah hidupnya memang sangat mengagumkan khususnya bagi generasi Aceh yang
ingin tahu banyak tentang kisah hidup Ulama Ulama Aceh yang of Berjaya pada
masanya.
Abu Krueng Kalee menjadi Ulama
Bukan Karena diagungkan oleh masyarakat Aceh pada waktu itu, melainkan
pengorbanannya pada Aceh yang begitu Besar, sehingga ia diberi gelar
"Ma'rifaullah" atau "A'rif billah". Gelar itu ia Terima pada sebuah forum tingkat Tinggi Ulama's Aceh,
May 5, 2007, ie Masjid Raya Baiturrahman.
Pada pertemuan itu para Ulama
Aceh telah sepakat, selain Abu Krueng Kalee, ada Tiga Ulama lainnya yang telah
sampai pada tingkat Ma'rifatullah. Dua
ie antaranya Ulama terkemuka masa silam yakni Syeikh Abdurrauf Singkily Syeikh
Hamzah all Fansuri LLC H Muhammad Waly Al-Khalidy atau lebih dikenal dengan LLC
H Muda Waly pendiri Salah satu pesantren terkemuka ie Labuhan Haji, Aceh
Selatan.
Pandangan Politik Abu
Berbicara masalah politik
(siyasah) Bukan Barang Langka bagi Abu terlebih setelah Indonesia Merdeka. Abu piawai Dalam mengambil berbagai keputusan politik ie Aceh,
Karena didasari pada penguasaannya terhadap pelbagai ilmu sejarah, Baik sejarah
Islam (tarikh all Islamy) maupun Dunia.
Dari itu, Abu mampu mengkaji
elements elements sosial politik Dalam menghadapi berbagai persoalan then
peristiwa yang muncul saat itu.
Dalam biografi singkat
"Teungku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee (1886-1973): Ulama Besar Guru
Umat" yang diterbitkan Yayasan Darul Ihsan LLC Hasan Krueng Kalee
disebutkan pada hakikatnya seseorang yang ingin mendalami kandungan Alquran
dengan Baik benar mutlak Haruz mengetahui al-Seera Nabawiyah sebagai upaya
mengambil suatu hukum i'tibar Serta memahami dengan benar ilmu fiqh al-Seera.
Hal itulah yang dipraktikkan
Abu Dalam menghadapi berbagai peristiwa politik yang terjadi ie Aceh Nusantara
semasa hidupnya.
Perannya sebagai seorang Ulama
salafi sufi terkemuka, tidak membuatnya jauh Dari berbagai persoalan persoalan
umat. Kiprahnya
selalu hadir mengiringi setiap peristiwa yang muncul ie sekelilingnya.
Salah satu hal yang masih
membekas pada Rakyat Aceh adalah lahirnya "Makloemat Oelama Seloeroeh
Aceh" pada October 15, 1945. Maklumat
itu dicetak Dalam bentuk selebaran dibagikan s seluruh Aceh Wilayah Sumatera.
Maklumat itu dikeluarkan ie
Kutaradja (Banda Aceh). Diprakarsai
oleh empat tokoh Ulama yang mewakili seluruh Ulama Aceh, yakni LLC HM Hasan
Krueng Kalee, LLC M Daud Beureueh, LLC H Dja'far Siddik Lamjabat LLC Ahmad
Hasballah Indrapuri. Maklumat
itu merupakan wujud dukungan Ulama Aceh terhadap kemerdekaan Republik Indonesia
yang telah diproklamirkan Presiden Sukarno.
Inti muatannya maklumat berisi
keyakinan para Ulama yang bernilai fatwa: Perjuangan mempertahakan kemerdekaan
Indonesia adalah sama dengan Perjuangan suci yang disebut perang sabil (jihad
fi sabilillah) meneruskan Perjuangan Aceh terdahulu seperti Perjuangan LLC Chik
di Tiro pahlawan kebangsaan lainnya.
Legitimasi maklumat mewakili
Rakyat Aceh ini juga mendapat dukungan penuh dengan dicantumkannya atau
diketahui oleh Teuku Nyak Arif selaku Residential Aceh disetujui oleh Tuwanku
Mahmud (keturunan Sultan of Aceh) selaku Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh
(KNIDA).
Branch lama setelah keluarnya
Maklumat Bersama itu, Abu mengeluarkan seruan / maklumat tersendiri. Seruan yang sangat penting Atas Nama pribadinya pada 25 October
1945. Isinya
branch jauh Beda dengan maklumat bersama.
Seruan yang ditulis Dalam
bahasa Arab Jawi itu dicetak oleh Markas Daerah PRI (Pemuda Republik Indonesia). Disertai surat pengantar yang ditandatangani Ketua Umum PRI, Ali
Hasjmy, 8 November 1945 dengan Nomor 116/1945. Maklumat itu kemudian dikirim s seluruh pimpinan Ulama Aceh.
Adanya maklumat itu berdampak
positif bagi pemerintahan RI. Berbagai
dukungan fisik then materil Rakyat Aceh untuk membiayai Perjuangan Negara
Kesatuan Republic Indonesia branch terbendung, sehingga hydrolyzate kunjungan
pertama Presiden Sukarno s Aceh, June 1948, dengan lantang Sukarno menyatakan
bahwa Aceh then segenap rakyatnya adalah modal pertama bagi kemerdekaan RI.
Aceh Nyaris Berdiri Sendiri
Di Blang Padang, Banda Aceh,
ada sebuah bangunan tua bekas pusat pemerintahan Belanda.Kini telah berubah
wujud. Dijadikan
SMA Negeri 1 Banda Aceh.
Di 'gedung Zethan, sebutan
Rakyat Aceh waktu itu terhadap cantor Belanda (der Sman 1 Banda Aceh Kini),
menjadi saksi bisu Fakta sejarah tanggal 20 Maret 1949. Di gedung itulah pertemuan penting para tokoh tokoh ie Aceh
berlangsung, Salah satunya Abu Krueng Kalee.
Complex Makam Abu Krueng Kalee
Makam Abu Krueng Kalee ie com
Dayah Darul Ihsan
Pertemuan itu membahas isi
sebuah surat tertanggal 17 Maret 1949 yang dikirim Wali Negara Sumatera Timur,
DR Teungku Mansur s Aceh. Saat
itu Aceh merupakan Provin yang dipimpin seorang Gubernur military Sipil yang
membawahi Wilayah Aceh, Langkat, then Tanah Karo.Surat itu berisi undangan
kepada LLC M Daud Beureueh selaku Gubernur military Aceh untuk menghadiri rapat
yang diberi imitation "Muktamar Sumatera" untuk membahas pembentukan
"Negara Republik Federasi Sumatera."
Padahal, Muktamar Sumatera itu
merupakan gagasan terselubung Dari politiknya Gubernur Hindia Belanda Van Mook
untuk memecah belah Wilayah Indonesia yang sudah memproklamirkan kemederkaannya
bisa bubar. Mook
melakukan itu Karena seluruh Wilayah di Indonesia saat itu telah berhasil
diduduki Belanda pascaagresi military ke II tahun 1948.
Pemerintah Darurat Republic
Indonesia (PDRI) ie bawah kepemimpinan Syahruddin Prawiranegara yang dibentuk
Atas perintah Sukarno, akhirnya Haruz pindah-pindah, yakni s Yogyakarta, Bukit
Tinggi, then Aceh, Karena kala itu ibukota RI ie Jakarta telah diduduki Belanda
Serta sejumlah tokoh National then termasuk Sukarno telah berhasil ditawan
Belanda.
Hanya Aceh, satu-satunya yang
sepanjang perang revolusi fisik (1945-1949) tidak berhasil diduduki Belanda
sehingga gagasan yang ditawarkan oleh Van Mook untuk bergabung Dalam Negara
Republik Federasi Sumatera (NRFS) Akan membuat Indonesia pada akhirnya branch
lagi berwujud.
Kepentingan Belanda untuk Aceh
agar bergabung bersama NRFS sangat Besar. Aceh
dianggap Belanda telah menjadi daerah modal RI branch lagi memberi dukungan
Perjuangan untuk Rakyat Indonesia ke Wilayah lain.
Suasana gedung Zethan pun hari
itu berlangsung Panas. Terjadi
perdebatan sejak jam 10 pagi sampai jelang 11 Malam jam. Hasilnya berupa Tiga pilihan: sebagian menerima ajakan Van Mook
bergabung bersama NRFS; sebagian ingin memproklamasikan Aceh sebagai Negara
sendiri; sebagian tetap setia mempertahankan Negara Republik Indonesia.
Dari Tiga pilihan itu, hanya
Abu yang mengusulkan Aceh untuk berdiri sendiri. Berbagai pertimbangan Abu uraikan. Menurutnya Roda pemerintahan Republik Indonesia sudah
lumpuh.Secara defacto, Wilayah RI sudah Kembali diduduki Belanda, kecuali Aceh.
Selain itu, Aceh telah memiliki
sejarah kemampuan secara military untuk berdiri sendiri lewat Salah satu
commando LLC Daud Beureueh yang menjabat Gubernur military Sipil untuk Aceh,
Langkat, then Tanah Karo, sehingga berbagai Alat persenjataan berat peninggalan
Jepang yang berhasil dikuasai pejuang Aceh bisa menjadi Salah satu modal
kemampuan Abu para Ulama lain untuk menggalang kekuatan Rakyat Dalam mendukung
gagasan tersebut.
Namun hydrolyzate berbagai
gagasan uraian disampaikan Abu, LLC Daud Beureueh juga meminta pendapat peserta
rapat Atas tawaran Van Mook, tetapi tidak ada satupun Dari mereka memberikan
tanggapan.
Menurut LLC Ishak Ibrahim,
Salah satu anggota TNI yang pernah bertugas ie Makassar pada masa DI / TII
menjabat sebagai komandan Batalion DI / TII Wilayah Darussalam, Malam itu LLC
Daud Beureueh akhirnya menanyakan tanggapan s Abu tentang tawaran Van Mook.
Abu dengan tegas menjawab,
"Kalau mau senang, lepaskan Aceh Dari RI. Ambil yang Baik meskipun itu keluar Dari mulut rimueng (harimau).
"
LLC Daud Beureueh menentang
keras jawaban Abu. Padahal
sosok Abu di mata Daud Beureueh adalah seorang guree (guru). Daud Beureueh pun Kembali mempertegas: kesetiaan Rakyat Aceh
terhadap RI Bukan dibuat buat melainkan kesetian yang tulus ikhlas dengan Hati
nurani yang penuh perhitungan then perkiraan.
Dalam pidatonya, LLC Daud
Beureueh mengatakan "... sebab itu, kita tidak bermaksud untuk membentuk
suatu Aceh Raya, Karena kita Di Sini bersemangat Republiken. Untuk itu, undangan Dari Wali Negara Sumatera Timur itu kita
Pandang sebagai tidak ada Saja, Dari Karena itu tidak kita balas. "
Penolakan LLC Daud Beureueh
juga didasari Atas keyakinannya bahwa Sukarno Akan menepati janji janji yang
telah disampaikan dengan linangan air mata kepadanya Dalam kunjungan s Aceh
tahun 1948. Pada
LLC Daud Beureueh, Sukarno berjanji Akan memberikan izin bagi Aceh untuk
mengurus daerahnya sendiri menjalankan syariat Islam.
Akhirnya, usulan Abu branch
mendapat dukungan penuh Dari peserta rapat. Ia
kalah oleh pandangan mayoritas yang ingin tetap bergabung dengan RI. Hasil akhir pun memutuskan untuk menolak ajakan DR Teungku Mansur
gejolak membentuk NRFS berakhir dengan sendirinya.
Akan tetapi semangat Abu Krueng
Kalee belum surut. Ia
didampingi muridnya LLC Idrid Lamnyong di kediamannya di Banda Aceh, Kembali
mengajak LLC Daud Beureueh mendirikan Pemerintahan Aceh. Ajakan itu diungkapkannya sehari menjelang penyerahaan kekuasaan
Belanda kepada Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) ie The Hague,
27 December 1949.
Namun jawaban Daud Beureueh
juga branch berubah. Perdebatan
sengit pun Kembali terjadi hingga akhirnya Abu mengatakan, "mulai jinoe
foot ka peugah sapeu le bowl lon kah hana ka tupeu ... (mulai sekarang jangan
katakan apapun lagi pada Saya, kamu tidak tahu-kyenom yang Saya tahu) ....
"
Logic Agama Ilmu Hakikah
Menelaah secara logic, kyenom
yang disampaikan LLC Daud Beureueh lewat pandangannya bersama tokoh tokoh lain
untuk mendukung Aceh tetap bergabung dengan Republik Indonesia memang tidak
dapat disalahkan.
Pandangan tersebut terlihat
Dari motivasi prinsip mashalah yang lebih Besar, Karena demi memperjuangkan
kepentingan bangsa Negara Indonesia yang pada saat itu Mati Suri. Apalagi janji janji Sukarno masih begitu terpatri Dalam setiap
ingatan Rakyat Aceh, sehingga Sulit dipercaya Jika janji itu Akan dikhianati
dikemudian hari. Bake
seorang negarawan sejati tentu Akan mengambil kesimpulan yang sama dengan Daud
Beureueh.
Abu sendiri Dalam menilai
persoalan ini tetap merujuk pada logic Agama. Namun di sisi lain Abu juga melihat dengan ilmu hakikah atau disebut
ilmu firasat (laduni). Salah
satu ilmu yang diberikan Allah SWT kepada para walinya yang telah mencapai
maqam ma'rifah sehingga Sulit bagi awam untuk mengerti pada awalnya.
Jelas sekali padangan Abu
sangat bertolak belakang Jika merujuk kyenom yang terjadi pada Maklumat Ulama
sebelumnya. Namun
bagi orang yang paham sikap polarization pikir Abu Dalam mengambil suatu
keputusan tentu Akan menjadi jelas mudah mengerti.
Melihat kondisi Awal
kemerdekaan menjadi alasan bahwa mengharamkan umat Islam keluar Dari ketaatan
pemimpin Jika sudah terpilih atau diakui secara mayoritas walaupun pemimpin itu
fasiq atau Jahath, selama ia tidak mengharamkan umat untuk mengerjakan salat
farzu lainnya.Maka menurut pemahaman Sunni pemimpin itu Haruz tetap ditaati
walau boleh dibenci.
Lain halnya saat Indonesia
pascaagresi military, ie mana Pemerintah RI sudah lumpuh branch bisa lagi
berjalan sebagaimana mestinya. Meskipun
demikian situasi ie Bukit Tinggi branch lagi aman. Bahkan Daud Beureueh meminta Presiden PDRI waktu itu Syafruddin
Prawinegara hijrah ke Aceh, sehingga pemerintahan RI masih dapat dipertahankan.
Oleh Karena itu, secara hukum
Agama, Aceh sudah memiliki momentum yang tepat boleh untuk mengumumkan
negaranya sendiri demi menghindari kevakuman pemimpin then pemerintahan ie mana
kehilangan pemimpin menurut ajaran Agama keyakinan Abu sangat dilarang Dalam
Agama, seperti Dalam Salah satu riwayat Ulama fiqih mengatakan : "enam
puluh tahun di bawah pemerintahan imam yang Jahath lebih Baik Dari semalam
tanpa pemimpin."
Jadi bisa dikatakan branch ada
kontradiksi Antara kedua pandangan Abu Dalam hall ini. Sebab pandangan tersebut berada Dalam situasi kondisi Negara yang
sangat berbeda. Berbagai
sikap politik Abu untuk mendukung Lepas Dari RI juga berpijak Atas dasar Agama
dalil dalil seperti ayat Alquran Hadis, Ijma Serta kajian terhadap ilmu Fiqh
Siyasah.
Kini Abu telah tiada manusia
yang hanya bisa berencana namun takdir Allah untuk menentukan kyenom yang
berlaku. Wallahua'lam.
Syeh Abdurrauf As-singkili
M
asyarakat Aceh sebagai
masyarakat yang agamis, khususnya Islam sangat dekat dengan ulama. Disadari
bahwa ulama dalam masyarakat Aceh menjadi panutan bagi segenap warga, sebagai
sosok yang dihormati dan dikagumi. Kekaguman masyarakat terhadap ulama terutama
karena ulama memiliki pengetahuan agama yang mendalam serta ulama juga sebagai
tokoh yang memiliki kharismatik dalam kehidupan masyarakat.
Kaum ulama atau alim ulama dalam masyarakat Aceh sering disebut
dengan teungku. Gelar teungku yang dijuluki kepada seseorang sebenamya
biasa-biasa saja. Sebutan itu sering digelarkan kepada seseorang, yang telah
dan sedang menempuh pendidikan di dayah (pesantren). Sebutan itu tidak
memandang berapa lama seseorang belajar di suatu lembaga pendidikan dayah.
Namun
kalau ditinjau secara ilmiah, ulama yang dimaksud adalah mereka selain memiliki
pengetahuan agama yang dalam dan luas juga memiliki pengaruh yang besar dalam
masyarakat. Seorang ulama harus beriman, bertaqwa, beramal saleh dan berakhlak
mulia, serta selalu mengajak umat manusia untuk melaksanakan perintah Tuhan dan
menjauhi semua larangan-Nya. Umumnya mereka adalah pimpinan-pimpinan
dayah/pesantren di Aceh, walaupun ada pula yang tidak memimpin dayah. Keulamaan
seseorang pimpinan dayah itu sering juga digelar dengan sebutan, Abon, Abu, dan
Teungku Chiek (Rusdi Sufi, 1997:7).
Kepopuleran
seorang ulama bukan saja karena kesalehannya dan berilmu tinggi, akan tetapi
karena sanggup memimpin masyarakat. Sosok ulama adalah simbol pemersatu umat.
Sebagai pemersatu umat, pada diri ulama itu terpancar sifat kharismatik.
Kharisma atau kewibawaan yang dimiliki oleh seseorang ulama menjadi satu
kekuatan yang mampu menggerakkan dan memotivasi rakyat dalam melakukan berbagai
aktivitas positif sehari-hari.
Kaitan
dengan pemyataan di atas Rusdi Sufi (1997:8) menguraikan bahwa masyarakat
pedesaan atau orang-orang yang tinggal di pedesaan dalam masyarakat Aceh
disebut dengan ureung gampong, yaitu orang yang mendiami di suatu wilayah yang
jauh dengan perkotaan. Kehidupannya cukup bersahaja dan belum terpengaruh
dengan berbagai perubahan. Kehidupan mereka terbingkai oleh lingkungan yang
penuh dengan nilai-nilai budaya, nilai-nilai sosial dan adat istiadat, serta
nilai-nilai agama.
Dalam
bertindak dan bertingkah laku sehari-hari, mereka selalu memperlihatkan corak
dan nilai-nilai yang bersumber pada ajaran Islam dalam hampir segenap aspek
kehidupan. Penerapan berbagai tingkah laku yang bercorak keislaman ini
disebabkan oleh adanya pranata sosial yang umumnya berlaku pada masyarakat Aceh
melalui lembaga pendidikan dayah, sehingga menghasilkan ulama-ulama militan
sebagai pemimpin pranata sosial dalam masyarakat.
Sebagai
orang yang memiliki pengetahuan keagamaan yang luas, maka ulama memiliki andil
besar dalam mentransferkan ajaran agama dan nilai-nilai sosial kepada
masyarakat. Dalam melakukan kegiatan tersebut, ulama menempuh berbagai cara dan
media, antara lain melalui lembaga pendidikan dayah dan berbagai media dakwah
lainnya. Hikayat merupakan salah satu media dalam memvisualisasikan ajaran-ajaran
atau nilai-nilai agama kepada masyarakat. Hikayat yang penuh dengan nilai seni
sastra dijadikan sebagai alat yang sangat ampuh oleh ulama dalam mengajarkan
syariat Islam. Hikayat ini mengandung petuah-petuah, nasehat-nasehat, dan
kisah-kisah kehidupan para nabi/auliya yang dapat menjadi contoh dan tauladan
dalam kehidupan umat manusia. Hikayat ini juga mengandung unsur pendidikan dan
moral keagamaan.
Pemilihan
hikayat sebagai media oleh para ulama dalam mentransformasikan nilai-nilai
agama kepada masyarakat sangatlah tepat. Hal ini disebabkan oleh tingkat
pendidikan masyarakat yang pada umumnya masih belum mampu menulis dan membaca
tulisan Arab dan Laten. Hikayat ini pada umumnya ditulis oleh para ulama dan
dibacakannya dihadapan masyarakat baik pada ruang tertutup maupun ruang
terbuka. Masyarakat dengan tekun mendengarkan untaian kalimat per kalimat
dengan gaya bahasa yang khas, sehingga mampu membangkitkan emosional masyarakat
sebagai pendengamya.
Pembacaan
hikayat tidak terlalu terikat dengan waktu, tempat dan teks. Para ulama
biasanya membacakan hikayat tanpa melihat teks dan dapat dialunkan di mana saja
dan kapan saja. Memang tidak semua ulama mampu mengarang dan menulis hikayat.
Akan tetapi pada umumnya mereka mampu menyadur dan membacakannya kepada
masyarakat terutama di lingkungan desa di mana para ulama itu berdomisili
(Rusdi Sufi, 1997:9).
Ulama-ulama
yang mahir dalam mengarang hikayat antara lain Teungku Chik Kuta Karang,
Teungku Chik Pante Kulu dan Teungku Chik Di Tiro. Alim ulama ini telah berandil
besar dalam mem-visualisasikan hikayat sebagai media komunikasi keagamaan
dengan masyarakat. Mereka telah mampu menggerakkan semangat masyarakat untuk
melawan penjajahan Belanda dalam periode perang Belanda di Aceh lewat media
hikayat.
Pada
masa penjajahan Belanda, hikayat menjadi media untuk membangkitkan semangat
juang. Banyak para pemuda setelah mendengar pembacaan hikayat dengan gagah
berani mengambil pedang atau rencong pergi ke medan perang untuk melawan kafir
Belanda tanpa ragu dan gundah sedikitpun. Para ulama itu membacakan hikayat
untuk mendukung perjuangan tersebut di setiap mukim atau kampung.
Hikayat
sebagai media hubungan antara alim ulama dengan masyarakat juga dibacakan di
menasah-menasah pada waktu malam hari, ketika pemuda hendak tidur.
Hikayat-hikayat yang dibacakan di tempat ini pada umumnya mengandung
petuah-petuah ataupun pedoman-pedoman dalam mengarungi kehidupan dunia menuju
ke alam akhirat yang lebih baik. Petuah-petuah itu didengar dengan baik oleh
para pemuda.
Hikayat-hikayat
yang dibacakan di menasah itu juga mengandung unsur-unsur hiburan (pelipur
lara) bagi pemuda, yang berisi nyanyian-nyanyian tidur. Peranan hikayat ini
menjadi hiburan para pemuda di zaman dahulu. Akan tetapi pada masa sekarang
peranan tersebut telah mulai tergeser oleh berbagai media informasi dan hiburan
lainnya yang kini telah-menembus pelosok desa sekalipun. Para pemuda
sekarang.lebih banyak menghabiskan waktu dengan media hiburan lainnya seperti
internet, televisi, tape recorde dan radio.
Dewasa ini pembacaan hikayat hampir tidak
pernah terdengar lagi di desa-desa, bahkan di desa terpencil sekalipun. Hal ini
disebabkar oleh banyaknya media informasi dan alat-alat hiburan lainnya. Selain
itu tingkat kesibukan masyarakat dengan berbagai aktivitas dar pekerjaan juga
turut memberikan pengaruh untuk tergesernya peranan dan fungsi hikayat dalam
kehidupan masyarakat.
Tengku Peulumat
Tengku Peulumat terletak
di Desa Betong Peulumat Kecamatan Labuhanhaji Timur. Tengku Peulumat nama aslinya
Tengku Syekh Abdul Karim, beliau lahir pada tanggal 8 Agustus 1873 di Kota Baru
Sungai Tarap Batu Sangkar Minangkabau Sumatera Barat, sejak kecil sampai dewasa
Tengku Peulumat berada di kampungnya, setelah dewasa merantau ke Aceh dan
menetap di Peulumat, beliau kawin dan berumah tangga di Peulumat. Di Peulumat
beliau belajar dan memperdalam ilmu agama di Pondok Pesantren Darussalam
Labuhanhaji yang kemudian pesantren ini dipimpin oleh keponakan beliau yang
bernama Syech Tengku Muda Wali Al Chalidy. Ia belajar syariat, hakikat dan
makrifat. Karena Tengku Peulumat sangat menggandrungi ilmu Tasauf, ia hidup
dengan ajaran sufi yaitu kaum yang hidup warak dan khana’ah yang tidak cinta
dunia. Karena kesucian dan kebeningan jiwa Tgk. Peulumat menjadi seorang wali
atau Aulia Allah. Banyak hal-hal yang diluar logika terjadi pada diri Tengku
Peulumat seperti: ia bisa menghilang dan berjalan di atas air dan shalat Jumat
ke Masjidil Haram dalam waktu singkat dan bisa kembali ke Peulumat. Sebagaimana
cerita yang sudah populer di masyarakat Aceh Selatan bahwa pada suatu hari
Tengku Peulumat pergi ke pajak ikan membeli ikan. Dalam perjalan pulang
tiba-tiba ia ditegur seorang anak yatim, karena mendapat teguran itu, lantas
ikan itu diberikannya kepada anak tersebut. Hal itu sempat dilihat oleh
isterinya sambil marah kepada Tengku Peulumat. Tapi dengan tenang Tgk. Peulumat
mengatakan bahwa ganti ikan itu sudah ada tergantung di dekat tungku dapur
yaitu seekor ikan laut sebesar betis yang masih segar dan masih hidup. Tengku
Peulumat meninggal pada tanggal 8 Agustus 1943. Saat jenazahnya dimasukkan ke
dalam kubur dan ketika ikat kain kapan bagian lehernya dibuka, kerenda Tgk.
Syech Abdul Karim ternyata kosong – jasad Tengku Peulumat raib. Dikabarkan
jenajah orang suci – Aulia Allah yang juga oleh masyarakat dijuluki dengan
Aulia Allah diangkat dan diusung para Malaikat ke alam Malakut.
Abi
Thantawi Jauhar
(1955 - 2012 M)
Pimpinan Dayah Baitusshabri Lam Ateuk
Aceh Besar
Riwayat
hidup
Berdasarkan keterangan pada Kartu Tanda Penduduk beliau, Abi Thantawi
tercatat lahir di Sawang Aceh Selatan pada tanggal 1 Juli 1955. Pada masa
kanak-kanaknya, sebagaimana biasanya anak Aceh, beliau belajar al-Qur’an dan
dasar-dasar akidah pada ulama yang ada di kampung beliau, disamping mengikuti
pendidikan dasar umum di rumah sekolah. Menginjak remaja, beliau memasuki
pesantren/dayah Darussalam Labuhanhaji yang letaknya berselang hanya beberapa
kecamatan dari kecamatan kelahiran orangtua dan keluarganya. Tidak lama di sini
(tidak sampai satu tahun), beliau masuk dayah Darul Mu’arrif Lam Ateuk Aceh
Besar dibawah pimpinan Abu Ahmad Perti seorang ulama terkenal di Aceh. Di dayah
ini beliau belajar ilmu agama dalam berbagai disiplin ilmu, seperti bahasa Arab,
balagah, ushul fiqh, fiqih, tauhid, tasauf dan sebagainya. Setelah lama beliau
di sini, beliau dipercaya menjadi guru sekaligus menjadi wakil pimpinan dayah
dengan mengajar berbagai disiplin ilmu agama seperti kitab Ghayatul Wushul
dalam bidang ushul fiqh, al-Syarah al-Mahalli dalam bidang fiqih, Syarah
al-Jauhar al-Maknun dalam bidang balaghah dan lain-lain.
Setelah guru beliau almarhum Abu Ahmad
Perti berpulang kerahmatullah pada tahun 2000 M, Abi Thantawi dipercaya
sebagai pimpinan dayah Darul Mu’arrif menggantikan kedudukan gurunya. Namun
jabatan ini hanya sekitar dua tahun lebih, karena beliau harus memimpin dayah
beliau sendiri, Dayah Baitusshabri (dayah ini berjalan sebagaimana mestinya
sekitar tahun 2005 M), yang beliau kelola sampai akhir hayatnya, yang
letaknya masih satu kecamatan dengan dayah Darul Mu’arrif .
Tentang Pesantren
|
Pesantren Baitussabri
berdiri pada tanggal 25 Mei 2005 yang beralamat di Jalan Blang Bintang Lama
Km. 8,5 Depan Unaya Desa Lambro Dayah Kecamatan Kuta Baro Kabupaten Aceh
Besar, di dirikan oleh tokoh-tokoh masyarakat dan seluruh kepala desa
kemukiman ateuk guna mendukung pelaksanaan syari’at islam dan mendidik
generasi muda calon pemimpin masa depan juga untuk pemamfaatan kembali mesjid
lama/mesjid tuha yang tidak di pakai lagi untuk shalat jum’at oleh
masyarakat, berdiri di atas tanah seluas 3 hektare yang di sebagian adalah
tanah wakaf masyarakat.
|
Abu
Ahmad Perti (1938 - 1999 M)
Tgk H.
Muhammad Zamzamy, yang lebih dikenal dengan nama Tgk Ahmad Perti atau Tgk Ahmad
Mamplam Golek atau Abu Lam-Ateuk lahir di Kutabaro Aceh besar dari keluarga
yang terkenal ta’at beragama. Setelah belajar agama di tanah kelahiran beliau,
Tgk H. Muhammad Zamzamy melanjutkan pendidikan di sebuah dayah di Kecamatan
Sawang Aceh Selatan di bawah bimbingan Tgk Ishaq (Tgk Jeunib). Tidak lama di
sini, beliau melanjutkan pendidikannya di Dayah Darussalam Labuhan Haji yang
masih satu kabupaten dengan dayah tempat belajar beliau sebelumnya. Dayah
Darussalam pada` ketika itu masih di bawah pimpinan Ulama terkenal di Aceh,
Abuya Syekh Muda Waly.
Setelah
merasa kemampuan ilmu agama memadai, pada penghujung tahun enam puluhan, beliau
pulang kekampung halaman dengan mendirikan sebuah dayah dengan nama Darul
Mu’arrif. Nama dayah ini kemudian ditambah dengan embel-embel “Istiqamatuddin”
dengan harapan dayah tersebut tetap istiqamah dan terhindar dari godaan politik
pemerintahan Orde Baru pada` ketika itu. Darul Mua’rrif muncul sebagai sebuah
dayah yang disegani di Aceh dan sekitarnya. Para pelajarnya disamping berasal
dari Aceh, juga ada yang berasal dari luar Aceh, seperti Riau, Padang,
Palembang, Bengkulu. Bahkan banyak juga yang berasal dari negara tetangga,
Malaysia. Alumni-Alumni Dayah Darul Muarrif banyak yang muncul sebagai ulama
yang berpengaruh di Aceh. Penulis yang dha’if ini sendiri merupakan alumni
Dayah Darul Mu’arrif ini dan pernah berguru langsung dari beliau membaca kitab
al-Mahalli, Ihya Ulumuddin, Ghayatul Wushul, Syarah al-Jauhar al-Maknun, Ibu
‘Aqil dan lain-lain. Semoga Allah membalas segala amalan beliau dengan rahmat
dan syurga jannatunna’im.
Diantara
ulama-ulama alumni Dayah Darul Mu’arrif yang penulis ketahui, antara lain :
1. Tgk
Ramli, pimpinan dayah di Krueng Mane Aceh Utara
2. Tgk
H.Martunis Zamzamy, pimpinan Dayah Darul Huda Sawang Aceh Selatan
3. Tgk
Thaharuddin, Pimpinan Dayah Raudhah Kuala Batee Abdya (almarhum)
4. Tgk
Din Tsany, pimpinan Dayah di Aceh Utara
5. Tgk
H.Munir Jangkabuya, pimpinan dayah di Pidie Jaya (almarhum)
6. Tgk
H.Thantawy Jauhari, pimpinan Dayah Darul Shabri Kutabaro Aceh Besar
7. Tgk
H. Mahmuddin MBO, pimpinan Dayah Serambi Aceh, Aceh Barat
8. Tgk
Arifin MBO, pimpinan dayah di Aceh Barat
9. Tgk
Syarifuddin, pimpinan dayah di Bidok-Uliem, Pidie Jaya
10. Tgk
Mahdi, pimpinan Dayah Darul Mu’arrif sekarang (menantu beliau sendiri)
11. Abu
Don Lamno, pimpinan dayah di Alue Lhok-Aceh Timur
12.Tgk
Manan, pimpinan Dayah di Alue Lhok-Aceh Timur (almarhum)
13.Tgk Husnon, pimpinan Dayah di Meulum Samalanga
14. dan lain-lain
Tgk
Muhammad Zamzamy terkenal sebagai orator ulung dan tajam ulasannya. Dalam
setiap orasinya, beliau muncul dengan bersemangat dan berapi-api. Sebagai
penganut kuat Mazhab Syafi'i, beliau sangat anti terhadap paham tidak bermazhab
yang dianut sebagian kecil rakyat Aceh ketika itu. Dalam politik, beliau
bergabung dalam Partai politik PPP dan merupakan salah seorang juru kampanye
PPP yang andal dan disegani.
Profil Abuya Prof
DR Tgk H. Muhibbuddin Waly
Abuya Muhibbuddin, demikian ia akrab disapa, adalah putra Syekh
Muhammad Waly, guru Tarekat Naqsyabandiyah Waliyah di Tanah Rencong. Syekh
Muhammad Waly adalah ulama besar yang berasal dari Minangkabau. Dari
ayahandanya, yang di Ranah Minang lebih dikenal dengan julukan Syekh Mudo Waly,
mengalir darah ulama besar. Paman Syekh Mudo Waly, misalnya, adalah Datuk
Pelumat, seorang waliullah yang termasyhur di Minangkabau. Sebagaimana
kedudukan pamannya, Syekh Mudo Waly juga mewarisi karisma dan karamahnya.
Konon, ia pernah memindahkan anaknya dari Minangkabau ke Aceh dalam sekejap.
Syekh Mudo Waly adalah sahabat Syekh Yasin Al-Fadany (asal Padang) saat mereka
berguru kepada Sayid Ali Al-Maliky, kakek Sayid Muhammad bin Alawy bin Ali
Al-Makky Al-Maliky Al-Hasany, di Mekah. Karena persahabatan itu pula, beberapa
tahun lalu Al-Maliky mengijazahkan seluruh tarekat yang dimilikinya kepada
Abuya.Diceritakan, ketika menunaikan ibadah haji, Abuya sowan kepada tokoh Suni
yang baru saja wafat pertengahan Ramadan lalu. Ketika itu Sayid Maliky
bertanya, siapakah gerangan tamunya tersebut. Abuya lalu menjelaskan, ia adalah
putra Syekh Mudo Waly, murid Sayid Ali Al-Maliky. Mendengar itu, Sayid Maliky
menangis haru dan memeluk Abuya, kemudian mengijazahkan semua ilmu tarekatnya.
Hal yang sama sekali tak diduga sebelumnya oleh Abuya. Pertemuannya dengan
Syekh Yasin Al-Fadany juga penuh dengan isak tangis mengharukan. Setelah
memeluk Abuya erat-erat, sambil terus memegang tangannya, Syekh Yasin
mengijazahkan semua hadis Rasulullah SAW yang dikuasainya. Untuk pertama
kalinya, tempo doeloe di masa remaja, Abuya Muhibbuddin belajar Tarekat
Naqsyabandiyah kepada ayahandanya. Setelah dianggap cukup, belakangan, Syekh
Mudo Waly menyerahkan pengangkatan anaknya menjadi mursyid kepada gurunya,
Syekh Abdul Ghani Al-Kampary (dari Kampar). Saat itu di pesisir laut Sumatra
ada dua mursyid besar yang tinggal di Riau.Mereka termasyhur sebagaimin
jumlatil awlia (termasuk wali-wali Allah), yaitu Syekh Abdulghani
Al-Kampary, yang kebanyakan murid-muridnya terdiri dari para ulama; dan Syekh
Abdul Wahhab Rokan (dari Rokan), yang murid-muridnya adalah orang-orang awam.
Belakangan Abuya Muhibbuddin juga mendapat ijazah irsyad (sebagai
guru mursyid) Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari ulama karismatik K.H.
Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin, alias Abah Anom, pengasuh Pondok Pesantren
Suryalaya, Tasikmalaya; dan Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari Syekh
Muhammad Nadzim Al-Haqqany. Silaturahmi dan selalu belajar kepada para ulama
besar memang kebiasaannya yang sudah mendarah daging, bahkan hingga kini.
Selalu teringat wasiat ayahandanya, “Jika engkau bertemu dengan orang alim,
janganlah pernah mendebat. Cukup dengarkan nasihatnya, bertanya seperlunya,
minta doa dan ijazahnya, lalu cium tangannya.”
Syekh Muhibbuddin Waly mengambil
gelar doktor di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo, dengan disertasi
tentang Pengantar Ilmu Hukum Islam. Lulus 1971, waktu kuliahnya terbilang
singkat. Di Al-Azhar, teman satu angkatannya antara lain mantan Presiden RI
K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. “Wah, Gus Dur itu sehari-hari kerjaannya
cuma membaca bermacam-macam koran,” kenangnya sambil terkekeh. Kini, setelah
kesibukannya sebagai anggota DPR RI berakhir 2004 lalu, ia lebih banyak mengisi
waktunya dengan mengajar tarekat dan menulis. Ada beberapa buku tentang tasawuf
dan pengantar hukum Islam yang sedang ditulisnya, sambil menyempurnakan buku
ensiklopedi tarekat yang diberinya judul Capita Selecta Tarekat Shufiyah. Waktu
senggangnya juga dimanfaatkan untuk “meramu” tiga kitab yang diharapkannya akan
menjadi pegangan para murid dan umat Islam pada umumnya, yaitu Tafsir Waly
(Tafsir Al-Quran), Fathul Waly (Komentar atas Kitab Jauharatut Tauhid), dan
Nahjatun Nadiyah ila Martabatis Shufiyah (sebuah kitab tentang ilmu tasawuf).
Dan ternyata ia pun mewarisi darah para pujangga Minang. Hal itu, misalnya,
terbukti dari kemahirannya menulis syair. Belum lama ini ia mengijazahkan Syair
Tawasul Tarekat yang digubahnya dalam dua bahasa, Arab dan Melayu, kepada
murid-murid tarekatnya. Syair yang cukup panjang ini menceritakan proses
perjalanan suluknya, diselingi doa tawasul kepada para pendiri beberapa tarekat
besar dan guru-guru yang dimuliakannya.
Mengenai perkembangan tarekat dewasa
ini, ia menyatakan, “Saat ini ada pergeseran nilai (bertambahnya fungsi tarekat
– Red.) di kalangan pengikut tarekat. Jika di masa lampau tarekat diikuti oleh
orang yang benar-benar hendak mencapai makrifatullah, kedekatan dengan Allah,
sekarang ini tarekat malah sering jadi tempat pelarian bagi orang-orang yang
menemukan kebuntuan dalam hidup.” Mengenai hubungan guru dan murid dalam tarekat,
ia berpendapat, seorang mursyid adalah pengemudi biduk pengembaraan spiritual
muridnya. Oleh karena itu, seorang mursyid seyogianya juga menjadi musahhil,
yaitu orang yang membantu kemudahan sang murid dalam melewati beberapa maqamat
atau terminal spiritualnya.
Berita yang tersebar melalui sms dan
facebook menyebutkan bahwa Abuya Pro.DR. Muhibuddin Waly telah berpulang
kehadirat Allah sekira pukul 21.30 WIB Rabu Malam (7/3) di RS Fakinah, Banda
Aceh.
Serambinews.com melansir bahwa Abuya
meninggal setelah beberapa hari dirwat di RS Fakinah. Saat ini, jenazah
Almarhum dibawa pulang ke kediaman di Desa Lamreung, Kecamatan Darul Imarah,
Aceh Besar.
Berikut sekilas Biografi Abuya Muhibuddin Waly
Nama Penuh : Prof. Dr. H. Teungku Muhibbuddin Waly
Nama Pendek : Muhibbuddin
Asal : Tanjungan, Sumatera Barat
Nama Ayah : Teungku Syeikh H. Muhammad Waly Al-Khalidy Al-Syafi’i Darussalam,
Labuhanhaji, Aceh Selatan
Gelaran Tradisi : Teungku dan Abuya
Gelaran Profesional : Doktor (Ph.D) Penghantar Ilmu Fiqh Islam
Tarikh Lahir : 17 Desember 1936, (Rabu)
Tempat Lahir : Simpang haru Padang Kota, Sumatera Barat
Agama : Islam (Sunni)
Status : Kahwin, mempunyai seorang isteri dan tujuh orang Putera ( Taufiq,
Hidayat, Wahyu, Rahmat, Amal, Habibie dan Maulana )
Pendidikan : 1944 – 1953 SD s/d SLA di Darussalam Labuhanhaji Tapaktuan, Aceh
Selatan 1954 – 1959 Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Darussalam
Labuhanhaji Aceh Selatan 1964 Persamaan Ijazah Perguruan Tinggi Islam Bustanul
Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan dengan Magister Syari’at Islam,
Spesialisasi Ushul Fiqh Al-Islami (The Roots Theorical Bases of Islamic Law
Section), al-Azhar University, Faculty of Islamic Statute & Law, Cairo,
Egypt. 1970 Dokter (Ph.D) Syariah Islam, Bidang Ushul Fiqh Al-Islami (Spesialisasi
The Roots-The Orical-of Islamic Law Section), Al-Azhar University. 1978-1979
Lemhannas (Lembaga Pertahanan Indonesia) KRA XI, Jakarta. 1979 Penataran Pemuka
Agama seluruh Indonesia Angkatan ke-II, Jakarta. 1980 Penataran Calon Penatar
P4 (Manggala P4 Nasional ) Istana Bogor. 1984 Penataran Kewaspadaan Nasional
(Khusus Manggala P4 Nasional), Jakarta.
Kegiatan Akademik : 1963-1964 Dosen (status Guru Besar) Perguruan Tinggi Islam
Bustanul Muhaqqiqin Perguruan Tinggi Islam Darussalam Labunhanhaji Aceh
Selatan. 1970-1976 Dosen IAIN Falkutas Syariah Syarif Hidayatu ‘lLah, Jakarta.
1971-1974 Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Jakarta 1988-1993
Professor Ilmu Hukum Islam, Institut al-Quran (IIQ) Jakarta.
Pengalaman Kerja : 1963-1964 Direktur Perguruan Tinggi Islam Bustanul
Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan. 1973-1975 Wakil Dekan Bidang
Akedamis, Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatu’lLah, Jakarta. 1979-1982
Pimpinan Majlis Dakwah Islamiyah (MDI) Indonesia, Jakarta 1982-1993 Ketua Umum
Rabithahatul Ulamail Muslimin al-Sunniyyin (Ikatan Ulama Islam Ahli al-Sunnah
wa al-Jama’ah) Indonesia, Jakarta. 1983-1988 Anggota Dewan Pertimbangan Agung
Republik Indonesia (DPA- RI) 1992 Pensyarah, Universiti Islam Antarabangsa,
Kuala Lumpur, Malaysia
Karya Ilmiah : Al-Ijtihad fi al-Fiqh al-Islami (Ijtihad dalam Hukum Islam),
tahun 1970. Thesis Ph.D. dari Falkutas Syari’ah dan Qanun, Universitas
al-Azhar. Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawwuf (4 jilid), 1972-83. Ulama Menurut
Islam (Mahiyat al-Ulama fi al-Islam – Naskah Seminar PB N. U. 1976). Asuransi
dalam Pandangan Syari’at Islam (Al-Ta’min fi al-Syari’ati al-Islamiyah-Naskah
Seminar PB N. U. 1975). Taraweh dan Witir serta Ibadat-ibadat yang Bertalian
dengannya menurut Sunnah Rasul Dan Sunnah Sahabat, dan Pengalaman Para Ulama
Islam Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah (1985) Dari Manakah Datangnya Istilah Ahli
al-Sunnah wa al-Jama’ah (1985).
Undangan seminar dan lain-lain seperti ke Malaysia (Seminar Guru-guru Asean)
tahun 1977, Ke Brunei Darussalam (Seminar Da’wah Islamiah) tahun 1985 dan
lain-lain.
DAFTAR Blog, WEB,
Pustaka
1.
Blog,Kitab
Kuneng
2.
Blog,Raja
Muda Awe
3.
Blog,
Nurul Ihsan
4.
Blog,
Tambeh Said
5.
Blog,
Bakhtiar Ibrahim
6.
Blog, Boy Nashruddin Agus