Jumat, 12 Juni 2020

Biografi Abu Muhammad Daud Teupin Gajah

ABU MUHAMMAD DAUD AL YUSUFI;
Ulama Kharismatik dan Pimpinan Dayah Madinatuddiniyah Babussa'adah.


Beliau adalah ulama kharismatik Aceh Selatan yang lahir di Kruengkalee Pasie Raja, dan berkiprah secara luas di Teupin Gajah Aceh Selatan, sehingga masyarakat menyebut beliau dengan sebutan Abu Daud Teupin Gajah. Dalam diri Abu Daud Teupin Gajah mengalir darah pejuang, karena kakeknya Ismail bin Haji Yusuf syahid dalam perang Aceh. Semenjak kecil Abu Daud Teupin Gajah telah nampak bakat menjadi seorang ulama berpengaruh, ditandai dengan semangat dan kesungguhan beliau dalam menuntut ilmu pengetahuan, terutama ilmu agama.

Setelah menjadi seorang alim, Abu Daud Teupin Gajah membangun lembaga pendidikan yang dinamakan dengan Dayah Madinatuddiniyah Babussa'adah pada tahun 1984, yang cikal bakalnya dimulai dengan pembangunan TPA di tahun 1972, sepulangnya beliau dari pengembaraan ilmunya di Dayah Blang Bladeh Bireuen. Mengawali pendidikannya, Abu Daud Teupin Gajah yang lahir pada tahun 1936 belajar di SR atau Sekolah Rakyat yang beliau selesaikan pada tahun 1951. Walaupun sekolah SR tersebut jauh dari kampungnya, namun Abu Daud Teupin Gajah bersungguh-sungguh-sungguh untuk hadir ke sekolah, meskipun hujan, becek dan jarak yang jauh. Melihat kepada semangat beliau inilah yang kelak mengantarkan Abu Daud Teupin Gajah menjadi seorang ulama yang memiliki tekad baja dan pantang menyerah.

Abu Daud Teupin Gajah merupakan salah satu murid dari Ulama besar Aceh yaitu Abuya Syech Jailani Musa Kota Fajar. Beliau dan Abu Muhammad Yunus Thaiby dan beberapa ulama lainnya adalah murid generasi pertama dari Abuya Jailani Kota Fajar. Abuya Jailani ialah ulama lulusan Dayah Bustanul Huda Abu Syech Mud Blangpidie dan termasuk murid generasi awal dari didikan Syekh Muda Waly, satu Angkatan dengan Abu Adnan Bakongan, Abu Qamaruddin Teunom dan para ulama lainnya. Disebut pula bahwa Abuya Jailani Kota Fajar sempat belajar kepada ulama yang berasal dari Siem Aceh Besar Abu Muhammad Ali Lampisang, pendiri Madrasah Khairiyah di Labuhan Haji kurun 1921 sampai 1930.

Abu Daud Teupin Gajah mulai belajar kepada Abuya Haji Jailani Kota Fajar pada tahun 1954 di Dayah Bustanuddin Kuala Ba'u Aceh Selatan. Namun ketika Abuya Jailani pulang ke kampungnya Kota Fajar dan mendirikan Dayahnya Darussa'adah pada tahun 1957, Abu Teupin Gajah pun ikut untuk terus belajar dari sang ulama itu. Sekitar lebih kurang sepuluh tahun kebersamaan antara guru dan murid yang disayangi, pada tahun 1964 Abuya Jailani Kota mendapat undangan khusus untuk menghadiri acara di Dayah ulama kharismatik Aceh Abu Tu Muhammad Amin Mahmud atau yang dikenal dengan Abu Tu Min, juga salah satu murid Abuya Syekh Muda Waly yang selesai belajar di Darussalam Labuhan Haji sekitar tahun 1959, dimana tahun 1958 kakak kelasnya satu tingkat Abu Abdul Aziz Shaleh atau Abon Samalanga pulang, dan satu tahun sebelumnya telah pulang kampung ke Tanoh Mirah Abu Abdullah Hanafi Tanoh Mirah, yang ketiga-tiganya telah mengikat komitmen untuk mengabdikan ilmunya kepada umat Islam khususnya Aceh.

Abu Tu Min juga merupakan generasi ketiga yang memimpin Dayah Madinatuddiniyah Babussalam Blang Bladeh. Sebelumnya dayah tersebut dibangun oleh kakeknya Teungku Tu Hanafiyah, yang kemudian dilanjutkan oleh ayah Abu Tu Min Teungku Tu Mahmud Syah, dan dayah ini maju dan berkembang secara pesat semenjak Abu Tu Min pulang dari Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan pada tahun 1959. Kepada Abu Tu Min, Abu Daud Teupin Gajah memperdalam kajian keilmuannya yang telah beliau perolehan sebelumnya dari guru besar Abuya Syech Jailani Kota Fajar.

Abu Daud Teupin Gajah dapat digolongkan sebagai ulama yang merupakan lulusan pertama dari dua orang ulama kharismatik Aceh tersebut. Setelah menjadi seorang yang alim dan rasikh ilmunya, Abu Daud kemudian mulai merintis lembaga pendidikan agama yang kemudian di kenal oleh masyarakat Aceh Selatan dengan Dayah Madinatuddiniyah Babussa'adah. Melihat dari sisi penamaan dayah, nama Madinatuddiniyah bertafaul kepada Madinatuddiniyah Blang Bladeh, sedangkan Babussa'adah mengambil berkat kepada nama Darussa'adah Kota Fajar.


Selain mencintai dan menghormati gurunya, Abu Daud Teupin Gajah juga dikenal sebagai ulama yang murah senyum dan mudah akrab dengan siapapun. Sehingga karena pembawaannya yang menyenangkan dan Luwes tersebut, maka dakwah beliau dimana-mana, disebutkan hampir dua puluh empat majelis taklim yang beliau ajarkan ilmu yang tersambung kepada guru-gurunya. Selain sebagai ulama dan guru bagi masyarakat Pasie Raja, para ulama di Aceh Selatan sangat menghormati Abu Daud Teupin Gajah, sehingga beliau pernah memimpin Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Selatan selama dua periode, mengawal pemahaman keagamaan secara amanah dan bertanggung jawab.

Abu Daud Teupin Gajah telah berkiprah secara luas untuk masyarakatnya. Bahkan disebutkan bahwa selain masyarakat, anak-anak beliau juga umumnya pendiri dan pimpinan dayah lainnya. Beliau juga seorang murabbi masyarakatnya dengan kajian tasauf dan suluk yang beliau buka di Bulan Ramadhan. Abu Daud Teupin Gajah memaknai hidupnya untuk terus mengajarkan masyarakatnya ke jalan keselamatan. Sehingga di hari wafatnya beliau, dalam usia 82, tepatnya dua tahun yang lalu merupakan kehilangan yang besar bagi masyarakatnya secara khusus dan bagi Aceh secara umum. Karena kehilangan seorang yang alim adalah satu kekurangan yang tidak mampu ditutupi hingga hari kiamat. Rahimahullah Rahmatan Wasi'atan. Alfaatihah.

Penulis : Dr Ustadz Nurkhalis Mukhtar El_sakandary Lc, MA,

Kamis, 11 Juni 2020

Biografi Syekh Jamil Jaho

SYEKH MUHAMMAD JAMIL JAHO
Ulama, Tokoh PERTI dan Guru Syekh Muda Waly Al-Khalidy.

Syekh Muhammad Jamil Jaho adalah salah satu ulama besar Padang yang memiliki arti yang signifikan dalam jalur keilmuan ulama Aceh terutama melalui jalur Syekh Muda Waly al-Khalidy. Karena beliau selain guru, juga mertua Abuya Syekh Muda Waly yang menikah dengan anaknya Hajjah Rabi'ah Jamil Jaho. Syekh Muhammad Jamil Jaho sering disebut dengan 'Inyak Jaho' atau Angku Jaho. Beliau lahir pada tahun 1875 di Jaho, Nagari Tambangan Padang Panjang. Melalui jalur ayahnya, Syekh Muhammad Jamil Jaho memiliki darah ulama, karena ayahnya Datuk Garang merupakan ulama dan qadhi wilayah Tambangan.

Semenjak kecil Syekh Jamil Jaho telah dibekali dengan dasar-dasar keilmuan, bahkan dalam usia 13 tahun beliau telah mampu menghafal Al Qur'an dan memahami kitab-kitab melayu dengan baik. Melihat talenta yang ada pada diri Syekh Jamil Jaho, ayahnya Datuk Garang mulai mengajarkan kitab kuning kepada beliau. Setelah memiliki perbekalan yang memadai dalam ilmu nahwu sharaf, Syekh Muhammad Jamil Jaho kemudian diantarkan oleh ayahnya untuk belajar kepada salah seorang ulama yang berada dalam kawasan Padang Panjang yaitu Syekh Al Jufri. Kepada Syekh Al Jufri, Syekh Jamil Jaho bertekun belajar selama beberapa tahun, sehingga mengantarkan beliau menjadi seorang 'alim kecik' artinya anak kecil yang alim. Lebih kurang lima tahun beliau belajar kepada Syekh Al Jufri. Walaupun telah memahami kitab-kitab Arab dengan baik, Syekh Muhammad Jamil Jaho kemudian melanjutkan pengajiannya kepada ulama di Padang Ganting yaitu kepada Syekh Al Ayyubi.

Dengan segenap kesungguhan Syekh Jamil Jaho belajar kepada Syekh al Ayyubi, dimana beliau dengan sahabatnya seperguruan Syekh Sulaiman al-Rusuli menjadi murid yang disayangi oleh gurunya. Beliau dan Syekh Sulaiman kelak menjadi ulama besar Minang dan pendiri organisasi PERTI. Sekitar enam tahun beliau belajar kepada Syekh Al Ayyubi tentunya telah mengantarkan Syekh Jamil Jaho menjadi seorang alim yang mendalam ilmunya. Namun dahaga keilmuan Syekh Jamil Jaho akhirnya mengantarkan beliau untuk belajar kepada seorang ulama besar lainnya yang dikenal ahli dalam Fiqih dan Ushul Fiqih teman seperguruan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syekh Muhammad Sa'ad Mungka al Khalidy yaitu Syekh Abdullah Halaban. Kepada Syekh Abdullah Halaban beliau belajar dari tahun 1899 sampai berangkat ke Mekkah tahun 1908, lebih kurang sembilan tahun beliau belajar dan mengajar kepada Syekh Abdullah Halaban yang dikenal 'allamah, telah mengantarkan Syekh Muhammad Jamil Jaho muda menjadi seorang faqih dan alim yang rasikh ilmunya.

Syekh Abdullah Halaban telah pun mengangkat Syekh Muhammad Jamil Jaho menjadi Asisten Syekh yang dianggap telah mampu berdiri sendiri dan boleh membuka surau/dayah. Namun demikian, pada tahun 1908 Syekh Muhammad Jamil Jaho melanjutkan kajian keilmuannya tingkat tinggi di Kota Suci Mekkah. Beliau dan Syekh Abdul Karim Amrullah disebut-sebut sebagai murid senior dan mendapatkan kepercayaan dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabau untuk mengajarkan para pelajar yang baru sampai di Mekkah. Syekh Ahmad Khatib Minangkabau sendiri adalah ulama yang pernah menjadi Mufti, khatib dan Imam di Mesjidil, diambil menantu oleh Syekh Saleh Kurdi, seorang hartawan dermawan yang memiliki akses ke penguasa Kota Mekkah. Sebelum Syekh Ahmad Khatib, ulama nusantara yang pernah menjadi pengajar dan Imam di Mesjidil Haram adalah Syekh Ahmad Khatib Sambasi yang merupakan Mursyid Kamil Mukammil untuk tarekat Qadiriah Naqsyabandiyah. Adapun Syekh Nawawi al Bantani juga pada posisi yang sama, namun beliau lebih memilih menjadi pengajar biasa.

Sekitar sepuluh tahun Syekh Muhammad Jamil Jaho belajar dan mengajar di Mesjidil Haram, dan beliau telah menjadi alim besar yang diperhitungkan. Sehingga ketika pulang ke Padang, beliau menginisiasi banyak hal untuk masyarakat. Selain membuka pesantren di Jaho yang disebut dengan Surau Jaho, beliau juga menggagas berdirinya Persatuan Ulama Minangkabau dan pendirian lembaga pendidikan Thawalib bersama sahabatnya Syekh Sulaiman al-Rusuli dan Syekh Abdul Karim Amrullah teman ketika sama-sama belajar kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Dimana dari Surau Jaho Syekh Muda Jamil Jaho telah mengkader ratusan para angku-angku dan puluhan ulama terbilang. Di antara muridnya yang juga menjadi ulama besar adalah Syekh Zakaria Labaisati Malalo yang pernah sekitar delapan tahun belajar pada lembaga pendidikan yang beliau pimpin.

Bahkan salah seorang ulama besar Aceh yang tiba di Padang sekitar tahun 1933 yaitu Syekh Muda Waly al-Khalidy yang menjadi tokoh sentral jaringan ulama dayah Aceh juga pernah belajar dan mengikuti pengajian dari beliau di Surau Jaho. Karena sebelum ke Padang Syekh Muda Waly telah alim, berguru kepada beberapa tokoh ulama Aceh seperti Abu Lampisang, Abu Syech Mud Blangpidie, Abu Kruengkalee, Abu Indrapuri, dan para ulama lainnya. Karena kealiman, akhlak yang mulia, dan terang hatinya, akhirnya Syekh Muda Waly diambil menantu oleh Syekh Jamil Jaho yang dinikahkan dengan puterinya yang juga alim Hajjah Rabi'ah M. Jamil Jaho, yang merupakan ibu dari Abuya Haji Mawadi Waly pimpinan Dayah Darussalam Labuhan Haji.
Selain sebagai ulama besar, Syekh Jamil Jaho bersama sahabatnya Syekh Sulaiman al-Rusuli kemudian membangun sebuah organisasi keislaman yang berhaluan Ahlussunnah Waljama’ah yang disebut dengan PERTI pada tahun 1930. Sehingga seluruh Madrasah yang bercorak pesantren, berafiliasi dengan Organisasi PERTI dan umumnya pesantren perti di Minang disebut dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Perkembangan PERTI di Aceh awalnya juga tidak terlepas dari peran Syekh Muda Waly yang disambut pula oleh Syekh Hasan Kruengkalee yang juga ulama kharismatik Aceh.

Selain sebagai tokoh yang menginisiasi berdirinya PERTI, Syekh Muhammad Jamil Jaho juga termasuk pembaharu pendidikan di Padang, walaupun dalam masalah fikih beliau tetap bertaqlid kepada pengarang-pengarang Kitab pada masa yang lalu. Beliau menolak Ijtihad secara bebas, dan menyeru untuk kembali ke Turats/kitab-kitab kuning melalui jalur Surau dan pesantren. Setelah kontribusi yang besar, pada tahun 1945 dalam usia 70 tahun wafatlah ulama kharismatik tersebut. Rahimahullah Rahmatan Wasi'atan.

Ditulis oleh. Dr. Ustadz Nurkhalis Mukhtar El_Sakandary

Biografi Abu Muhammad Daud Teupin Gajah

ABU MUHAMMAD DAUD AL YUSUFI; Ulama Kharismatik dan Pimpinan Dayah Madinatuddiniya h Babussa'adah. Beliau adalah ulama kharisma...